Kelemahan Strategi Global

Abad lalu, AS adalah puncak kekuatan industri. Dengan kapasitas industri dan inovasi terdepan, AS berproduksi dalam skala besar sambil menciptakan kelas menengah yang luas. Namun, sejak akhir abad ke-20, dominasi ini terkikis. Perusahaan Amerika seperti Apple dan Microsoft sukses secara global, tapi industri AS mulai melamah. Ini sebuah paradoks menarik: strateginya menang, tetapi negara kalah.

AS memimpin liberalisasi dan globalisasi, dengan memaksakan perdagangan bebas, deregulasi, dan offshoring sebagai strategi pertumbuhan ekonomi dan keunggulan kompetitif. Hal ini diperkuat masa Reagan-Thatcher dan dilembagakan dalam bentuk NAFTA dan dukungan atas keanggotaan RRC di WTO. Manufaktur padat karya dialihkan ke negara berbiaya rendah, sementara AS berfokus ke layanan bernilai tinggi dan inovatif, sambil menikmati manfaat efisiensi global.

Di level perusahaan, cara kerja ini efektif. Apple membangun salah satu ekosistem paling bernilai di dunia, dengan integrasi erat antara desain, software, layanan, dan hardware. Hampir semua hardware diproduksi dan dirakit di luar negeri, terutama RRC. Microsoft mendominasi perangkat lunak dan layanan enterprise, tetapi ekosistem globalnya—cloud, pengembangan sistem, dan rantai pasok—makin bergantung pada infrastruktur dan stabilitas politik internasional.

Makin jelas bahwa strategi berbasis ekosistem ini—meskipun brilian dalam skalabilitas, penguasaan pasar, dan profitabilitas—pada dasarnya rapuh. Strategi ini dibangun atas asumsi lingkungan global yang stabil, arus tenaga kerja lintas batas, modal, dan data yang tak terganggu, serta konsensus geopolitik yang kini mulai runtuh. Pandemi COVID-19, perang teknologi AS–China, dan meningkatnya kebijakan proteksionis di seluruh dunia menunjukkan rapuhnya mata rantai pasok dan ketergantungan atas platform tersebut.

Inti kelemahan terletak pada optimisasi efisiensi secara berlebihan dengan mengorbankan resiliansi. Dengan mengalihkan manufaktur penting ke luar negeri, AS kehilangan pekerjaan, juga pengetahuan industri, infrastruktur logistik, dan kemampuan merekonfigurasi produksi domestik secara cepat saat krisis melanda. Hal ini tampak pada krisis semikonduktor, APD, dan kebutuhan pokok lainnya selama pandemi awal dekade ini.

Model kapitalisme AS juga dangkal dan berorientasi jangka pendek. Perusahaan didorong memaksimalkan laba triwulanan dan nilai return, dan jarang berfokus pada berinvestasi pengembangan kapabilitas secara domestik. Serikat pekerja melemah, dan infrastruktur politik dan sosial yang didukung kelas pekerja ikut runtuh. Pergeseran budaya menuju “knowledge economy” diikuti gagasan bahwa produksi fisik kurang berharga daripada platform digital, kekayaan intelektual, dan rekayasa keuangan.

Ideologi dangkal ini juga diperluas ke Inggris, yang setia mengikuti strategi liberalisasi ekonomi AS. Di bawah kepemimpinan buruk Thatcher tahun 1980-an, Inggris melakukan swastanisasi industri besar, deregulasi sektor keuangan, pelemahan serikat buruh, dan self-positioning sebagai pusat global untuk layanan—terutama layanan keuangan. Seperti AS, Inggris membiarkan basis manufakturnya menyusut demi layanan bernilai tinggi yang terkonsentrasi di Tenggara, terutama London.

Tidak seperti AS, Inggris masih kurang di sisi skalabilitas, keragaman sumber daya, dan dominasi teknologi global. Inggris jadi mudah runtuh akibat ketimpangan regional yang mencolok, produktivitas yang menurun, dan kekurangan investasi kronis dalam infrastruktur dan pendidikan. Brexit, dalam banyak hal, merupakan ekspresi politik dari keterasingan ekonomi ini—pemberontakan terhadap globalisasi, sentralisasi, dan persepsi bahwa rakyat telah ditinggalkan oleh pengambil keputusan.

Di kedua negara, kita melihat kontradiksi inti: perusahaan menang secara global, namun ekonomi nasional menderita karena kerapuhan, ketimpangan, dan hilangnya kedaulatan di sektor-sektor strategis utama. Strategi berbasis ekosistem dari perusahaan seperti Apple dan Microsoft terus menghasilkan nilai yang besar, tetapi dikembangkan di atas geopolitik yang rapuh, tenaga kerja berbiaya rendah di luar negeri, dan jaringan logistik kompleks yang semakin rentan terhadap gangguan.

Ekosistem bisnis konon merupakan metafora dari ekosistem alam, yang berkembang melalui keragaman, redundansi, dan dukungan timbal balik. Tapi ekosistem bisnis yang dibangun oleh raksasa teknologi kadang justru kehilangan aspek semacam ini. Mereka cenderung bergerak ke sentralisasi, dominasi, dan efisiensi, membuatnya lebih menyerupai monokultur industri daripada ekosistem sejati. Ketika tekanan datang—dalam bentuk sanksi, pandemi, atau perang dagang—sistem-sistem ini tidak bergerak adaptif dan elastis, tapi justru patah.

Bukan berarti model ekosistem ini cacat secara mendasar. Model ini tetap menjadi salah satu kerangka kerja paling kuat untuk penciptaan nilai dalam ekonomi jaringan. Namun perlu ada (r)evolusi. Perusahaan harus membangun ekosistem yang efisien, namun sekaligus tetapi juga tangguh dan adaptif di level ekosistem (bukan di level perusahaan). Perlu dilakukan diversifikasi rantai pasok, investasi dalam kapabilitas lokal, dukungan atas kesehatan ekosistem, serta mitigasi atas risiko politik dan lingkungan.

Negara juga harus meninjau ulang cara kerjanya. Kembali ke proteksionisme bukanlah jawabannya, tetapi kembali ke liberalisme pasar juga salah. Sektor-sektor strategis harus dibangun kembali atau didukung secara domestik tidak hanya demi daya saing ekonomi, tetapi juga untuk ketahanan nasional. Kebijakan harus mendorong investasi jangka panjang, regenerasi regional, dan kebijakan industri yang selaras dengan inovasi.

Penerapan strategi berbasis ekosistem tidak boleh terlalu sempit dan dangkal. Perlu pandangan jauh ke depan, dan perlu perhatian besar terhadap kesehatan ekosistem ini sendiri. AS dan Inggris memberikan pelajaran bagi negara mana pun, bahwa ketahanan, kedaulatan ekonomi, dan kemakmuran inklusif akan sama pentingnya dengan efisiensi dan inovasi.

Jevon dan Konsumerisme Digital

Tahun 1865, ekonom Inggris William Stanley Jevons mengamati sebuah ironi dalam revolusi industri: semakin efisien mesin-mesin uap dalam menggunakan batu bara, semakin banyak batu bara yang dikonsumsi. Efisiensi, yang semula dipandang sebagai jalan menuju penghematan, justru meningkatkan peran (dan dengan demikian: volume) batu bara dalam aktivitas ekonomi. Paradoks ini kemudian dikenal sebagai Jevons’ Paradox, yaitu bahwa peningkatan efisiensi dalam penggunaan suatu sumber daya justru cenderung memicu lonjakan konsumsi terhadap sumber daya tersebut.

Jevons, observing the coal-based industry proliferation

Hampir dua abad kemudian, kita hidup dalam lanskap teknologi yang jauh lebih kompleks, dengan kehidupan digital yang diperkuat mikroprosesor dengan kemampuan proses miliaran butir data per detik, menghasilkan informasi dan pengetahuan yang luar biasa luas dan cepat. Menarik bahwa dengan dukungan kuat pada rasionalitas semacam ini, paradoks Jevons tidak menguap bersama asap batu bara. Ia bertahan dalam bentuk yang lebih subtil dan mungkin lebih dalam. Ketika perangkat digital menjadi lebih hemat daya, aplikasi menjadi lebih ringan, dan AI menjadi lebih efisien dalam inferensi, yang terjadi bukanlah penghematan kolektif, melainkan pelebaran permukaan konsumsi: lebih banyak data, lebih banyak sensor, lebih banyak pengolahan informasi, lebih banyak aplikasi, lebih banyak layar, lebih banyak keputusan yang diserahkan ke mesin. lebih banyak algoritma yang mengatur pilihan hidup, dan lebih banyak komputasi awan yang lebih mirip mendung asap tanpa berbatas.

Mobil listrik adalah studi kasus yang sempurna. Dipuja sebagai penyelamat lingkungan, teknologi ini diusung oleh pemerintah berbagai negara dan disambut kalangan industri sebagai simbol kemajuan hijau. Namun di balik citra bersih itu, muncul pola lama: teknologi digunakan untuk mendorong pembelian, meningkatkan produksi baterai yang boros sumber daya, dan membentuk kelas baru konsumen yang merasa berhak mengonsumsi lebih karena telah berbuat baik kepada lingkungan, plus pemerintahan yang mendorong konsumsi ini agar tampak memiliki kebijakan ramah lingkungan. Contoh lain adalah cloud computing yang dirancang untuk efisiensi infrastruktur digital, namun justru mendorong arsitektur digital yang masif, haus energi, dan bergantung pada pusat data yang semakin besar dan kompleks. AI, sedang kita kembangkan bersama, dalam bentuk model-model yang akan menghemat sumberdaya manusia dan mesin komputasi, namun dengan penggunaan yang meluas menjadi kebutuhan primer, dan akan memerlukan sumberdaya yang besar di semua titik.

The slaves of capitalism

Paradoks Jevon berusia nyaris dua abad, dan tentunya dilakukan koreksi, baik pada paradoks ini, maupun pada fenomena yang seharusnya dapat dikendalikan dengan memahami paradoks ini. Misalnya, regulasi dan kebijakan publik dirumuskan untuk menyeimbangkan pola konsumsi, dan membuat masyarakat dan teknologi lebih memihak lingkungan. Namun iklim politik ekonomi kontemporer yang ekstra-kapitalistik justru menjadikan kebijakan politik sebagai instrumen peningkatan konsumsi, bukan pembatasnya. Dorongan etis seperti budaya hidup secukupnya, kesadaran digital, keseimbangan hidup, dll juga tidak lebih baik. Politik dilemahkan para pebisnis; namun etika dilemahkan seluruh masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk mencari value yang absurd dengan konsumerisme yang makin berlebihan — plus diperkuat dengan algoritma yang lebih memudahkan konsumsi daripada mengangkat kemandirian rasionalitas pikiran manusia, wkwk.

Jika rasionalitas tidak mungkin dibangkitkan melalui kebijakan dan etika, mungkinkan dibangkitkan oleh rasionalitas lain? Misalnya melalui daya inovasi yang memberi nilai pada efisiensi dan sustainabilitas? Seharusnya, tapi saat ini belum cukup kuat. Kebutuhan yang dapat dibatasi saja, akan menemukan peluang kebutuhan baru. LED lebih hemat dari lampu, dan kebutuhan manusia akan lampu tentunya terbatas. Tapi LED kemudian dimanfaatkan untuk menyulap kota menjadi panggung iklan raksasa di semua titiknya. Efisiensi bekerja dalam sistem yang tidak bertanya “untuk apa?” tetapi “seberapa banyak lagi yang bisa dijual?”

Paradoks Jevons bukan sebuah hukum seperti hukum fisika yang tak bisa dilawan (**syarat dan ketentuan berlaku). Namun paradoks ini adalah cermin ideologis dari sistem ekonomi yang menjadikan efisiensi sebagai efisiensi peningkatan konsumsi. Kita tidak sedang melawan paradoks itu dengan inovasi, kebijakan, atau etika, melainkan memastikannya terus terjadi. Paradoks ini tetap hidup bukan karena ia benar secara mutlak, tetapi karena secara rasional, ia menjadi selalu teramati pada masyarakat yang serakah dan tidak mengenal kata cukup.

Market-Creating Innovation

Ternyata aku pernah mèjèng di Instagram @TelkomIndonesia yang terkenal itu. Bagian kecil dari banyak kisah keberhasilan Padi UMKM di diprakarsai Telkom Indonesia dan ditumbuhkan para BUMN di bawah kepemimpinan Kementerian BUMN.

Cuplikan pada gambar di IG itu diambil dari sambutanku pada Padi Business Matching beberapa waktu lalu, yang juga sekaligus melaporkan interim report dari pencapaian total peran Padi UMKM memberikan transaksi sebesar 6 triliun rupiah selama 2024. Kutipan lengkapnya lebih jail dari yang tertulis: “Inovasi penciptaan platform itu soal kecil. Serahkan saja pada Telkom, pasti beres. Inovasi yang betul-betul hebat adalah inovasi penciptaan market, yang sudah dilaksanakan para BUMN dengan mengubah operasi procurement jadi kapabilitas penciptaan market, dan diakui sebagai inovasi yang berhasil.”

Fotonya sendiri diculik team Corcom (tanpa pemberitahuan sebelumnya, wkwk) dari foto bersama the Coventry Gang di TEMSCON ASPAC 2024 di Sanur.

Sambutan dalam kegiatan itu agak impromptu, disiapkan hanya beberapa menit sebelum naik, karena ternyata opening speech kegiatan ini dilakukan Telkom, bukan dari Kementerian BUMN. Jadi di dalamnya malah masuk teori kompleksitas, teori ekosistem, dan tentu inspirasi Clayton Christensen tentang inovasi.

Dalam bukunya yang terakhir sebelum beliau wafat, yaitu The Prosperity Paradox, Clayton Christensen menjelaskan bahwa inovasi penciptaan pasar (market-creating innovation) adalah jenis inovasi yang tidak hanya meningkatkan efisiensi atau mengoptimalkan pasar yang sudah ada, tetapi menciptakan pasar baru yang sebelumnya tidak ada. Inovasi ini berfokus pada penciptaan bisnis yang mengubah non-konsumen menjadi konsumen dengan membuka akses baru dan memberikan nilai bagi masyarakat. Konsep ini berbeda dengan inovasi efisiensi atau inovasi yang berorientasi pada pertumbuhan jangka pendek. Dalam konteks BUMN seperti di atas, mengubah operasi procurement menjadi kapabilitas penciptaan market sejalan dengan bagaimana perusahaan dapat menyusun inovasi lebih dari strategi pertumbuhan yang dangkal seperti follow the money dan low hanging fruit, atau hanya pada efisiensi biaya; tetapi justru dengan menggiring atau bahkan menciptakan pasar baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan inklusi.

Padi UMKM diluncurkan sebagai bagian dari Gernas BBI di tahun 2020, pada saat negara sedang mendorong berbagai pihak menciptakan program untuk menghidupkan kembali ekonomi rakyat yang tenggelam akibat krisis Covid. Tahun itu, kami sempat dipanggil KSP. Di sana, disampaikan bahwa dari sekian proposal program pengembangan ekonomi berbagai K/L pada tahun krisis 2020 itu, hanya Padi UMKM (Telkom / Kementerian BUMN) yang betul-betul jalan dan memberikan nilai yang cukup besar. Banyak yang lain masih terhambat berbagai faktor. Program Bela Pengadaan di jalan, tapi valuenya kecil. Sepanjang 2021, kami kampanyekan Padi UMKM dalam arus utama program pemulihan ekonomi nasional melalui Gernas BBI. Dan pada tahun 2022, sebagai ekspansi program ini, negara memberikan kepercayaan kepada Telkom untuk menyiapkan platform pengadaan publik baru yang dikelola LKPP.

Signals & Boundaries

Buku unik dari John Holland, Signals & Boundaries, memberikan perspektif yang lebih intuitif pada CAS (sistem adaptif kompleks), yaitu dengan menunjukkan bagaimana emergence justru dihasilkan dari interaksi yang bersifat lokal. Menurut Holland, sinyal (yang membawa informasi) dan batas (yang mendefinisikan dan melindungi elemen di dalam sistem) memiliki peran utama dalam pembentukan dan perubahan complex sistem (sistem kompleks). Perspektif ini dapat memudahkan kita memahami bagaimana interaksi lokal yang sederhana dapat menghasilkan pola global yang kompleks.

Pengaruh pandangan ini cukup luas pada komunitas complexity theory, termasuk para akademisi di SFI. Mereka memadukan gagasan Holland ke dalam kerangka yang lebih luas tentang teori jaringan dan modularitas, serta menjembatani model adaptasi yang ada sebelumnya dengan pendekatan komputasional yang lebih modern. Dengan menekankan peran komunikasi melalui sinyal dan pembentukan struktur melalui batas, Holland memberikan konsep praktis untuk analisis dinamika ekosistem, platform teknologi, dan jaringan sosial.

Kekuatan Holland terletak pada ketegasannya menggambarkan bagaimana interaksi lokal dapat menghasilkan emergence pada complex system. Elemen dalam sistem yang berinteraksi akan saling bertukar sinyal, yang berfungsi sebagai feedback loop, yang kemudian akan mendorong adaptasi perilaku serta mempengaruhi elemen di sekitarnya. Batas (boundary) memastikan struktur tetap terjaga dengan isolasi interaksi tertentu dari derau eksternal, sehingga memungkinkan subsistem berkembang secara independen namun tetap terhubung. Keseimbangan antara isolasi dan keterhubungan inilah yang mendorong munculnya pola-pola baru dan adaptasi dalam sistem kompleks, yang mewujud dalam emergence.

Tentunya terdapat kritik juga atas gagasan bahwa kompleksitas secara umum dihasilkan dari interaksi lokal. Fokus eksklusif pada proses bottom-up semacam ini dikhawatirkan dapat mengabaikan peran pengaruh global dan kausalitas top-down. Dalam banyak sistem, batasan yang bersifat menyeluruh, faktor lingkungan, dan dinamika kolektif dapat membentuk pola dan perilaku yang tidak bisa dijelaskan hanya melalui interaksi lokal. Fenomena emergence dinilai dapat juga dipengaruhi kekuatan global.

Lebih ekstrim dari ini, terdapat sudut pandang “strong emergence” yang berpendapat bahwa ada sifat-sifat sistem yang muncul di tingkat makro yang secara mendasar tidak dapat direduksi atau diprediksi dari interaksi komponen dasarnya. Dalam perspektif ini, interaksi lokal belum dianggap dapat menjelaskan fenomena kompleks yang muncul, sehingga ada karakteristik menyeluruh yang memerlukan pendekatan konseptual tersendiri.

Menarik andai dapat dikembangkan model yang menggabungkan interaksi tingkat mikro dengan struktur tingkat makro. Terdapat konsensus di antara peneliti bahwa pendekatan ganda — integrasi perspektif lokal dan global — dapat menjadi kunci memahami kompleksitas secara menyeluruh. Teori network dan dinamika sistem misalnya, menyoroti pentingnya korelasi jarak jauh dan global feedback loop yang melengkapi interaksi lokal. Pendekatan terpadu ini mengakui bahwa meskipun sinyal dan batas sangat penting, interaksi sistemik yang lebih luas juga berperan penting dalam memicu adaptasi dan self-organisation.

Perspektif atas sinyal dan batas dari Holland tentunya tetap merupakan kontribusi yang sangat berpengaruh dalam complexity science, termasuk peluangnya untuk mengenali dan mengembangkan penerapan CAS di berbagai bidang, melalui interaksi terdesentralisasi di tingkat lokal untuk menghasilkan emergence. Namun penting juga untuk menselaraskannya dengan perspektif yang berbeda, termasuk strong emergence dan pengaruh global, agar kita dapat memahami kompleksitas dari kompleksitas (hahaha) secara lebih utuh, termsauk dengan mendorong inovasi dalam cara memodelkan dan mengelola complex system di dunia nyata.

Evening with Chevening

Last night I had the pleasure of attending the “Evening with Chevening” event at the British Embassy in Jakarta. This gathering was extra special as it marked the 40th anniversary of the Chevening Scholarship program, a UK government initiative that has been empowering future leaders worldwide since 1983. Over the past four decades, Chevening has built a global network of more than 57,000 alumni, including 20 current or former heads of state.

In Indonesia, the impact of Chevening is significant, with numerous scholars benefiting from the opportunity to pursue fully funded master’s degrees in the UK. The program covers university tuition fees, a monthly stipend, travel costs, and more, allowing scholars to focus entirely on their studies and personal development. Attending the event was a wonderful opportunity to connect with fellow alumni and celebrate the program’s ongoing commitment to nurturing leadership and fostering positive change in Indonesia and beyond.

Sociopreneurship Workshop

This week, I had the chance to attend a workshop in Bandung, part of the Entrepreneur Hub (EHUB) program organized by the Ministry MSME (KemenUMKM). The event, focusing on sociopreneurship, was opened by Siti Azizah, Deputy for Entrepreneurship, and Irwansyah Putra Panjaitan, Assistant Deputy for Business Ecosystem Development. The audience included social entrepreneurs, SMEs, and representatives from the West Java provincial government. It was an engaging session that shed light on how sociopreneurship is shaping the MSME economy.

Sociopreneurship is all about blending business strategies with a commitment to solving social problems. What makes it unique is that its performance is measured by the impact it creates on Sustainable Development Goals (SDGs). Whether it’s tackling poverty, promoting education, or addressing environmental issues, sociopreneurship drives real-world solutions while building sustainable businesses.

On the regulatory side, the Indonesian government plays a vital role in creating policies that support the growth of these ventures, ensuring they thrive within a robust MSME ecosystem. Ultimately, sociopreneurship is a catalyst for economic and social empowerment, creating a ripple effect of positive change in communities.

IEEE TEMSCON 2024

The IEEE TEMS (Technology and Engineering Management Society) is an IEEE society focusing in engineering and technology management. TEMS serves professionals who work at the intersection of technical and managerial roles, providing resources for innovation, leadership, and strategic thinking in technology-focused business. The society’s mission is to enhance knowledge and skills in managing the processes, resources, and challenges of technology-intensive and engineering-centric projects.

For the 1st time, IEEE TEMS carried out one of its flagship conference in Indonesia. The IEEE TEMS Conference Asia-Pacific (TEMSCON ASPAC) took place in Bali from 25 to 26 September, at the Prama Sanur Beach Hotel. The conference theme, “Achieving Competitiveness in the Age of AI,” focused on the transformative role of AI in modern business and engineering management. The top leaders of the IEEE TEMS, accompanied by scholars, industry leaders, and researchers from around world (beyond only Asia-Pacific region) gathered to discuss topics including updated innovations related to competitiveness, sustainable supply chain management, cybersecurity policies, digital healthcare innovations, and entrepreneurship, etc within the digital ecosystem.

Photo session at the TEMSCON opening ceremony

The conference began with a welcome from Conference Chair Prof. Andy Chen (former IEEE TEMS President and current President-Elect of the IEEE Systems Council). The opening session featured introductory remarks from prominent figures, including Prof. Andrea Balz (current President of IEEE TEMS), and Prof. Imam Baihaqi (Vice Rector of ITS Surabaya).

With Prof Benny Tjahjono and the Coventry University Gang at the TEMSCON opening ceremony

The keynote presentations were delivered by distinguished academics: Prof. Richard Dashwood (Vice-Provost for Research and Enterprise and Deputy Vice-Chancellor for Research at Coventry University), Prof. Alexander Brem (Professor and Vice Rector at the University of Stuttgart); and Prof. Anna Tyshetskaya (Vice Rector at Sankt Petersburg University in Russia). After the opening, the conference continued with breaking sessions for research paper presentations.

With Prof Richard Dashwood, Deputy Vice-Chancellor for Research at Coventry University

The second day of the conference was carried out as an Industry Forum with experts highlighted the challenges and opportunities that AI brings to global competitiveness. The speakers, besides Dr Ravikiran Annaswamy (the Past President of the IEEE TEMS) and Dr Sudeendra Koushik (the President-Elect of the IEEE TEMS), was yours truly. It was surely an honour. The title of my presentation was “Towards Complexity-Based Strategic Management.”

Keynote Speech by Yours Truly at TEMSCON Industry Forum

Following the lunch break, the forum resumed with an engaging panel session on “Accelerating Innovation for a Sustainable Future.” Prof. Marc Schlichtner, (Principal Key Expert at Siemens) served as the speaker, with Prof. Robert Bierwolf (TEMS Board of Governors Member) moderating. The panelists included esteemed leaders in technology and engineering management: Prof. Alexander Brem (Professor and Vice Rector at the University of Stuttgart), Prof. Anna Tyshetskaya (Vice Rector at Sankt Petersburg University in Russia), and yours truly. Truly an honour to share the stage with such distinguished figures.


The conference concluded with a gala dinner that offered a warm and lively networking opportunity for all participants. This included the TEMS Executive Committee, Board of Governors members, and leaders from various universities, fostering valuable connections and camaraderie across the academic and professional communities in attendance.

TEMSCON ASPAC 2024

IEEE TEMS (Technology and Engineering Management Society) adalah society dari IEEE yang berfokus pada bidang manajemen teknologi dan engineering. TEMS melayani para profesional yang lingkup kerjanya meliputi bidang teknologi dan menajemen, termasuk aspek inovasi, kepemimpinan, dan strategi dalam bisnis berbasis teknologi.

Pertama kali dalam sejarah, IEEE TEMS mengadakan flagship conference di Indonesia. IEEE TEMS Conference Asia-Pacific (TEMSCON ASPAC) diselenggarakan di Bali dari tanggal 25 hingga 26 September, bertempat di Prama Sanur Beach Hotel. Tema konferensi ini, “Achieving Competitiveness in the Age of AI,” mengupas peran transformasional AI dalam bisnis modern dan manajemen rekayasa. Para pemimpin IEEE TEMS, bersama akademisi, pemimpin industri, dan peneliti dari berbagai belahan dunia (bukan hanya kawasan Asia-Pasifik saja), berhimpun mengkaji inovasi terbaru terkait daya saing, manajemen rantai pasok yang berkelanjutan, kebijakan keamanan siber, inovasi kesehatan digital, dan kewirausahaan dalam ekosistem digital.

Pembukaan IEEE TEMSCON ASPAC 2024

Konferensi dibuka dengan sambutan dari Conference Chair, Prof. Andy Chen (Former Presiden IEEE TEMS dan President-Elect IEEE Systems Council). Sesi pembukaan ini juga diisi dengan kata pengantar dari Prof. Andrea Balz (Presiden IEEE TEMS saat ini) dan Prof. Imam Baihaqi (Wakil Rektor ITS Surabaya).

Bersama Prof Benny Tjahjono dan Tim dari Coventry University di Upacara Pembukaan TEMSCON

Keynote speech dibawakan oleh para akademisi: Prof. Richard Dashwood (Vice-Provost for Research and Enterprise dan Deputy Vice-Chancellor for Research di Coventry University), Prof. Alexander Brem (Professor dan Vice Rector di University of Stuttgart), serta Prof. Anna Tyshetskaya (Vice Rector di Sankt Petersburg University, Rusia). Setelah pembukaan, konferensi dilanjutkan dengan sesi pemaparan paper-paper hasil riset.

Bersama Prof Richard Dashwood, Deputy Vice-Chancellor for Research dari Coventry University

Hari kedua konferensi diadakan berupa Industry Forum, yang menghadirkan para ahli untuk membahas tantangan dan peluang AI bagi daya saing global. Keynote speakers dalam forum ini, selain Dr. Ravikiran Annaswamy (Past President of IEEE TEMS) dan Dr. Sudeendra Koushik (President-Elect of IEEE TEMS), juga aku sendiri. Kehormatan tersendiri. Judul presentasiku adalah “Towards Complexity-Based Strategic Management.”

My Keynote Speech

Setelah jeda siang, forum dilanjutkan dengan sesi panel bertajuk “Accelerating Innovation for a Sustainable Future.” Prof. Marc Schlichtner (Principal Key Expert of Siemens) menjadi pembicara utama, dengan Prof. Robert Bierwolf (anggota TEMS Board of Governors) sebagai moderator. Panel ini juga dihadiri para pemimpin ternama di bidang manajemen teknologi dan rekayasa: Prof. Alexander Brem (Professor dan Vice Rector di University of Stuttgart), Prof. Anna Tyshetskaya (Vice Rector di Sankt Petersburg University, Rusia), serta saya sendiri. Suatu kehormatan lagi buatku untuk bisa satu panggung dengan tokoh-tokoh terkemuka ini.

Panel Diskusi

Konferensi ini ditutup dengan gala dinner yang diisi dengan sesi networking yang hangat dan penuh keakraban bagi seluruh peserta, termasuk anggota TEMS Executive Committee, Board of Governors, dan para pemimpin universitas. Acara ini memperkuat koneksi dan kebersamaan di antara komunitas akademik dan profesional yang hadir.

Non-Accumulative Adaptability

Exploring the ideas about adaptation and emergence as a part of ecosystem (i.e. complex adaptive system — CAS) development, I think it is more exciting when we see it through the combined lenses of CAS, Schumpeter, Kuhn, Foucault, and Lyotard. Each of these perspectives explores how change does not just happen bit by bit, but instead in bold (stolen from Telkom’s five bold moves program) and disruptive leaps, as transformations that completely alter the playing field, whether we’re talking about economies, sciences, societies, or even our basic understanding of the world.

CAS implies that change is a matter of adaptive cycles — cycles of growth, accumulation, collapse, and renewal. An ecosystem could grow, accumulates the resources until hitting a limit. Then its whole structure becomes unsustainable, collapses, and reboots in a new way — it reorganises itself with fresh relationships and opportunities. This cycle is anything but smooth; it’s like a forest fire clearing the way for new growth, and it’s essential for resilience and long-term adaptability. This model resonates closely with Schumpeter’s idea of creative destruction in economies. Schumpeter saw capitalism as a system where innovation doesn’t build up neatly on top of the old but bulldozes it — new technologies, businesses, and products disrupt markets, toppling established companies and paving the way for the next wave of growth. For Schumpeter, entrepreneurs drive this cycle, constantly reinventing the economy and shifting the landscape in unexpected ways.

Thomas Kuhn brought a similar idea into science with his concept of paradigm shifts. In Kuhn’s view, science isn’t a smooth, cumulative process of adding one discovery to the next. Instead, it moves forward in fits and starts. Scientists work within a “paradigm” — a shared framework for understanding the world — until enough anomalies build up that the whole system starts to feel shaky. At that point, someone comes along with a radically new idea that doesn’t just tweak the existing framework but replaces it. Kuhn’s paradigm shift is a profound reimagining of the rules, kind of like Schumpeter’s creative destruction but applied to the way we think and know. It’s as if science periodically wipes the slate clean and rebuilds itself from a fresh perspective.

As a Gen-X, I must also mention Michel Foucault. Foucault offered a more historical spin on these ideas with his concept of epistemes. Foucault believed that every era has its own underlying structure of knowledge, shaping how people perceive and think about the world. These epistemes don’t evolve smoothly; they’re punctuated by abrupt shifts where the entire basis of understanding changes. Just like in a Kuhnian paradigm shift, when a new episteme takes over, it fundamentally changes what questions are even worth asking, as well as who holds power in the discourse. In Foucault’s view, knowledge isn’t just a collection of facts piling up—it’s tied to shifts in power and perspective, with each era replacing the last in a way that’s not fully compatible with what came before.

Then there’s Jean-François Lyotard, who takes the idea a step further by challenging the very idea of cumulative “progress” altogether. As a postmodernist, Lyotard argued that the grand narratives that used to make sense of history, science, and knowledge are breaking down. Instead of one single, upward trajectory, we’re left with multiple, fragmented stories that don’t fit neatly together. Knowledge, for Lyotard, is no longer a matter of moving toward some ultimate truth but an evolving patchwork of perspectives. This rejection of a single narrative echoes Schumpeter’s and Kuhn’s visions of disruption and replacement over seamless continuity. Lyotard’s work suggests that, in knowledge and culture alike, stability is always provisional, subject to the next seismic shift in understanding.

Let’s imagine they can talk together

So when we look at all these thinkers together, a fascinating picture emerges. In CAS, Schumpeter’s economics, Kuhn’s science, Foucault’s history, and Lyotard’s philosophy, progress is not about slowly stacking up ideas or wealth. Instead, it’s about cycles of buildup, breakdown, and renewal — each shift leaving behind remnants of the old and bringing forth something fundamentally new. This kind of progress isn’t just unpredictable; it’s fueled by disruption, tension, and revolution. These thinkers collectively remind us that the most transformative changes come from breaking with the past, not from adding to it. Progress, in this view, is a story of radical leaps, creative destruction, paradigm shifts, and fresh starts—where each new phase is a bold departure from what came before.