


Pada masa awal blog ini, cukup banyak tulisan tentang Faust dari Goethe [URL], khususnya tentang kehendak dan perjuangan manusia melawan kejumudan walaupun harus mempertaruhkan banyak hal yang di luar kuasanya. Kita kenang lagi, bagian awal tulisan Goethe ini tentang Faust.
MEPHISTOPHELES
Tuhan … datang lagi aku menyapa.
Engkau pun sudi melihat hamba hina.
Namun maaf, hamba tiada bahasa
Setinggi para pemuja cahaya.
Mereka bicara soal dunia dan bintang;
Aku hanya tahu manusia malang.
Si kerdil yang sok jadi dewa berakal,
Tapi justru lebih buas dari binatang.
Dengan nalar anugerahmu ia pongah,
Lalu memuja hasratnya yang rapuh.
Buatku, ia cuma belalang panjang,
Lompat-lompat, lalu jatuh ke kotoran.
TUHAN
Dan hanya itu yang kau bawa lagi?
Tak pernahkah kau lihat kebaikan di bumi?
MEPHISTOPHELES
Tidak, Tuhan. Dunia masih menyedihkan.
Aku bahkan nyaris kasihan.
TUHAN
Kau kenal Faust?
MEPHISTOPHELES
Si Doktor?
TUHAN
Hambaku, tentu.
MEPHISTOPHELES
Ia berbakti dengan cara aneh.
Tak makan minum, hanya resah.
Mendamba bintang dan kemuliaan,
Namun hatinya tak pernah tenang.
TUHAN
Meski ia tersesat dan kabur,
Akan Kuantar ia pada fajar yang jernih.
Seperti tukang kebun memandang tunas,
Kujaga benih yang kelak berbunga.
MEPHISTOPHELES
Tak ada buktinya. Biar kucoba raihnya.
Asal kauserahkan ia padaku,
Kan kubawa dia lewat jalanku.
TUHAN
Sepanjang ia hidup di dunia,
Kubiarkan kau mencobanya.
Selama manusia ingin dan rindu,
Ia tak luput dari kesalahan itu.
MEPHISTOPHELES
Terima kasih! Tubuh fana bukan urusanku.
Darah segar jauh lebih menyenangkan.
Saat orang mati mendekat pintuku,
Seperti kucing, kututup rapat kandang.
TUHAN
Jebaklah sesukamu.
Tarik menjauh dari nuraninya.
Namun bersiaplah menjadi saksi,
Manusia tetap setia pada jalan sejati
Meski sering tersembunyi arahnya.
MEPHISTOPHELES
Sepakat! Ini perjanjiannya:
Kalau aku menang, biar kubanggakan:
Ia akan makan debu dengan girang,
Seperti ular tua, kerabatku yang sopan.
TUHAN
Pergilah—aku tak benci tantangan.
Iblis sepertimu tak banyak mengganggu.
Jiwa manusia lekas jenuh dan bosan,
Maka kuberi ia penggoda sepertimu.
Kau paksa ia bergerak, berpikir, mencipta,
Dan justru karena itu, ia akan berkembang.
Namun para putra cahaya,
Nikmatilah keindahan yang tak binasa.
Kekuatan cipta yang abadi menari
Merangkul kalian dalam cinta sejati.
Apa pun yang samar dan ragu di dunia
Tetap kalian abadikan dalam makna.
« L’homme ne vit pas de liberté, mais de la signification de la liberté. » — Hal yang terpenting dari kebebasan, seberapapun terbatasnya, adalah makna besar yang dapat kita ciptakan dan kerjakan dengan dengan kebebasan itu.
Dengan teks itu, Antoine de Saint-Exupéry menghantam jantung ilusi zaman modern tentang kebebasan yang diperoleh seolah hanya sebagai kebesaran. Kebebasan justru menguakkan ruang kosong yang menuntut pengisian dengan nilai, pengorbanan, dan keberanian untuk hidup demi sesuatu yang lebih tinggi dari diri sendiri. Dan ruang ini, Citadelle dituliskan — bukan sebagai manifesto politik atau risalah filsafat, melainkan refleksi manusia yang berusaha mendirikan makna.
Risalah ini ditulis dalam bentuk catatan-catatan pribadi yang berserak. Citadelle adalah teks yang belum selesai, namun justru karenanya ia menjadi refleksi yang hidup dan bergerak — belum dibekukan oleh kerangka dan metode. Setelah Saint-Exupéry gugur dalam misi pengintaian pada 31 Juli 1944, fragmen-fragmen ini disusun dan diterbitkan secara anumerta pada 1948. Dalam bahasa Inggris, buku ini diterjemahkan dengan judul The Wisdom of the Sands.
Buku ini disuarakan dari seorang pangeran tua yang merenungi tugas, iman, penderitaan, dan martabat manusia, berbicara kepada generasi yang haus arah tetapi kehilangan sandaran. Pangeran, memandang kepemimpinan bukan sebagai penatakelolaan masyarakat. Kepemimpinan adalah soal mendirikan peradaban. Peradaban dibentuk melalui penanaman makna dalam kehidupan bersama. Masyarakat dibentuk melalui keteladanan dan ruang narasi.
Mengapa ruang narasi? Tanpa makna kolektif, masyarakat hanyut dalam kehampaan. Narasi, simbol, artefaks, bukanlah sekedar lambang dan warisan, melainkan menjadi struktur spiritual yang menyatukan manusia, dan menjadi nilai bersama yang mengikat bahkan antar generasi.
Namun proses spiritual sebagai pewujudan nilai justru dilakukan dalam bentuk kerja keras, kerja yang berat, serta dan disiplin, karena dengan itu setiap manusia, setiap individu, dapat menemukan dirinya sendiri. Melalui rasa sakit yang bersifat personal, nilai dan martabat manusia dibentuk, ditegakkan, dan dinilai oleh dirinya sendiri.
Kebebasan, baik secara sistem, kolektif, maupun individual, adalah nilai yang sanagt berharga, sehingga tidak mungkin dihancurkan nilainya dengan kesiasiaan. Kebebasan adalah kemampuan untuk mewujudkan nilai yang lebih tinggi, dan terus menerus diwujudkan dalam bentuk nilai yang lebih tinggi lagi. Maka puncak dari semua ini adalah panggilan untuk mendirikan makna. Dunia tidak hadir begitu saja — ia dibentuk oleh tindakan yang penuh keyakinan dan pengorbanan.
Benteng sejati (citadelle) tidak dibentuk dari batu atau senjata, atau gedung megah dan struktur organisasi yang kuat, tetapi dunia makna yang diciptakan dan ditegakkan didirikan di tengah kekosongan dan keterbatasan.
Lalu, soalan gurun pasir ini mengingatkan kita pada karya lain Saint-Exupéry. Tentu saja Si Pangeran Kecil, yang di tengah gurun, tanpa berputus asa, mendadak berujar: «Ce qui embellit le désert, c’est qu’il cache un puits quelque part.» — Yang menarik dari gurun yang luas ini adalah karena ia menyembunyikan sumur di suatu tempat. Di dunia yang keras, gersang, tak berarah, selalu ada sumur makna yang tersembunyi, menanti digali dengan komitmen, kerja keras, pengorbanan, dan kepemimpinan yang sejati.
Kopi arabika tumbuh secara optimal di dataran tinggi dengan suhu antara 18ºC — 22ºC dan curah hujan yang relatif stabil. Tanaman ini membutuhkan ketinggian di atas 1000 meter diatas permukaan laut, tanah kaya bahan organik, dan naungan alami pohon-pohon peneduh. Namun kondisi-kondisi tersebut kian sulit ditemukan akibat perubahan iklim. Suhu di banyak wilayah penghasil kopi terus meningkat, menggeser zona tanam ke wilayah yang lebih tinggi yang makin menyempit. Cuaca pun kian tak menentu: musim hujan datang lebih awal atau lebih lama dari biasanya, dan serangan hama seperti karat daun (coffee leaf rust) serta penggerek batang kopi makin sering terjadi, karena suhu hangat mempercepat siklus hidup patogen tersebut.
Para pemulia tanaman melakukan antisipasi dengan mengembangkan varietas kopi yang lebih tahan terhadap tekanan iklim dan penyakit, tetapi tetap memiliki mutu rasa yang mendekati arabika murni. Varietas Starmaya misalnya, adalah hasil persilangan antara Marsellesa (varietas tahan penyakit dari keturunan Timor Hybrid) dan varietas lainnya yang kemudian diperbanyak secara generatif menggunakan indukan steril. Starmaya menjadi salah satu kopi hibrida pertama yang dapat diperbanyak dengan biji dan bukan hanya dengan teknik stek atau cangkok, sehingga memudahkan petani kecil mendapatkannya. Ruiru 11 dan Batian, dua varietas unggulan dari Kenya, dikembangkan melalui persilangan berulang dan seleksi antar generasi, memadukan ketahanan terhadap coffee leaf rust dan nematoda dengan rasa mendekati varietas SL28 dan SL34 yang legendaris. Ketiganya kini menjadi andalan dalam banyak program adaptasi iklim, meskipun tetap menghadapi tantangan untuk mempertahankan atau bahkan memperkaya mutu rasa yang menjadi jantung budaya kopi arabika.
Inovasi lain terjadi di sisi pengelolaan lahan, melalui pendekatan pertanian regeneratif, yaitu menghidupkan kembali tanah dan ekosistem di sekitarnya. Petani berprakarsa menanam pohon penaung yang juga berguna secara ekonomi seperti alpukat, nangka, atau lamtoro; mempraktikkan pengomposan sendiri dari kulit kopi dan limbah organik; menggunakan tanaman penutup tanah (cover crops) seperti kacang-kacangan untuk menahan erosi; dan mengatur sistem air agar tanah tetap lembap di musim kering. Selain untuk hanya menjaga kesehatan tanaman kopi, cara ini juga meningkatkan keanekaragaman hayati dan menurunkan suhu di kebun.
Banyak praktik pertanian regeneratif yang dianggap baru justru menghidupkan kembali prinsip-prinsip leluhur tentang keseimbangan dan kelestarian. Kopi menjadi cermin hubungan manusia dengan alam, ilmu, dan harapan. Di Indonesia, terdapat contoh-contoh, misalnya bagaimana petani di Flores, Gayo, atau Toraja menyikapi perubahan iklim.
Di Gayo, Aceh Tengah, kopi arabika tumbuh pada ketinggian 1.200 hingga 1.600 meter, dengan tanah vulkanik dan suhu yang dulu ideal. Namun kini, petani menghadapi ketidakpastian panen akibat pergeseran musim dan tingginya curah hujan pada waktu yang tidak terduga. Serangan hama seperti penggerek buah juga makin sering. Petani Gayo merespons dengan memperluas agroforestri: kebun kopi diselingi tanaman penaung produktif, dan semakin banyak yang menghindari pupuk kimia berat. Koperasi di sana tidak hanya berfungsi sebagai pengumpul hasil, tetapi juga menjadi pusat edukasi fermentasi kopi, termasuk proses honey dan anaerobic fermentation yang dulu hanya dikenal di Amerika Latin. Banyak petani mulai memilih proses ini karena dapat menaikkan nilai jual dan membuat kopi Gayo tampil berbeda di mata pasar luar negeri.
Sementara itu di Toraja, Sulawesi Selatan, kopi tumbuh pada ketinggian 1.400 hingga 1.800 meter di kawasan berbukit dan diselimuti kabut pagi. Masyarakat setempat secara turun-temurun telah mempraktikkan sistem pertanian yang menjaga keberlanjutan lahan. Namun beberapa tahun terakhir, konversi hutan untuk pertanian lain dan tekanan ekonomi menyebabkan sebagian kawasan kehilangan pohon pelindungnya. Hasilnya: suhu naik, serangan hama meningkat, dan produktivitas menurun. Untuk menjawab ini, banyak petani Toraja kini menanam kembali pohon-pohon penaung, mengatur ulang saluran air lereng, dan berupaya mempertahankan shade-grown coffee sebagai identitas. Di sisi pascapanen, fermentasi semi-basah khas Toraja—yang biasanya dilakukan secara tradisional—mulai dikaji ulang dan disempurnakan dengan kontrol suhu dan waktu, demi menghasilkan rasa unik yang lebih konsisten dan bersaing di pasar specialty.
Di Flores, terutama wilayah Bajawa dan Manggarai, kopi arabika ditanam di ketinggian antara 1.200 hingga 1.500 meter, di bawah naungan hutan hujan kecil dan lereng vulkanik Gunung Inerie. Namun dalam sepuluh tahun terakhir, wilayah ini makin sering dilanda kekeringan ekstrem dan hujan deras yang datang tiba-tiba. Tanah mulai kehilangan kesuburan di beberapa tempat, terutama yang tidak dijaga dengan baik. Para petani muda di Flores mulai belajar membuat kompos cair dari limbah rumah tangga, menanam tanaman pengikat nitrogen seperti kacang tanah di antara kopi, serta menggunakan teknik terasering kecil untuk menahan air hujan. Pelatihan yang dilakukan oleh organisasi mitra dan koperasi lokal juga memperkenalkan pendekatan berbasis komunitas: bagaimana desa bisa mengembangkan branding kopi tersendiri dengan Indikasi Geografis, mengelola kebun secara kolektif, dan bahkan menyambut wisatawan yang ingin belajar langsung dari petani.
Ancaman iklim merupakan pemicu bagi kita untuk meninjau ulang cara bertani dan menghargai kopi. Kegiatan yang lengkap, meliputi riset genetika hingga pemeliharaan kearifan lokal akan membantu kopi Indonesia bertahan dan tumbuh, bersama semangat hidup yang tumbuh dari negeri perjuangan ini.
Paradigma kompleksitas menggeser dari perspektif klasik tentang dunia yang teratur, linier, dan dapat diprediksi, menuju perspektif akan dunia yang kompleks: terbuka, dinamis, dan penuh ketidakpastian. Paradigma kompleksitas lahir dari kegagalan cara berpikir reduksionis dalam memahami realitas yang penuh interaksi nonlinier dan spontan. Empat pilar utama paradigma ini — evolusi dan adaptasi, entropi dan termodinamika, dinamika sistem, serta komputasi dan logika — menjadi kerangka konseptual baru yang mampu menjelaskan kehidupan, pikiran, dan masyarakat modern secara lebih utuh. Walau belum banyak dipahami kalangan akademis, bisnis, dan pengambil keputusan publik, kompleksitas telah menjadi ilmu lintas bidang yang menginspirasi pendekatan baru terhadap masalah dunia nyata.
Sistem kompleks, inti dari paradigma ini, adalah jejaring interaksi yang membentuk keteraturan emergence, yaitu keteraturan yang tidak dirancang, tetapi terbentuk dari dinamika antar elemen. Emergence menjadi konsep sentral: dari neuron-neuron muncul kesadaran, dari interaksi manusia muncul budaya, dari hubungan antar spesies lahir ekosistem yang harmonis dan tangguh. Ekosistem sendiri menjadi contoh nyata sistem kompleks yang memiliki sifat resiliensi dan adaptasi luar biasa. Ekosistem bukan sekadar kumpulan organisme, melainkan jejaring hidup yang terus berkembang dalam dialog dinamis dengan lingkungannya, menciptakan stabilitas melalui keragaman dan keterhubungan.
Dalam paradigma kompleksitas, kita memandang informasi bukan sebagai pemaknaan data, melainkan sebagai inti strategis dari sistem. Informasi adalah perbedaan bermakna yang digunakan organisme untuk memahami, beradaptasi, dan berkembang dalam dunia yang berubah cepat. Perspektif kompleksitas menegaskan bahwa kehidupan adalah proses pengorganisasian informasi di tengah turbulensi entropi, di mana makhluk hidup dan sistem sosial secara konstan menegosiasikan masa depan melalui pilihan adaptif berbasis informasi yang tersedia. Visi ini memandang kehidupan sebagai realitas terbuka, yang terus menulis ulang aturan mainnya sendiri dan karenanya membentuk keberlangsungan.
Ketika diterapkan dalam ilmu strategi, paradigma kompleksitas menawarkan lensa baru yang cerdas sekaligus realistis: strategi bukan lagi keputusan yang disusun melalui rapat panjang, melainkan proses yang adaptif dan (r)evolusioner. Dalam dunia yang berubah cepat, strategi adalah cara menciptakan pilihan, bereksperimen, belajar dari hasil nyata, dan berevolusi terus-menerus. Perspektif ini memandang organisasi bukan sebagai mesin yang dikontrol secara top-down, tetapi sebagai sistem adaptif kompleks yang mampu belajar, beradaptasi, dan menghasilkan inovasi secara mandiri melalui interaksi internal dan sekaligus eksternal.
Dalam strategi organisasi, bisnis, negara, maupun pendidikan, paradigma kompleksitas menuntut perubahan radikal, bukan sekadar adaptasi kosmetik atau revisi metode strategi lama. Organisasi harus meninggalkan obsesi kontrol dan struktur hierarkis, beralih kepada model jejaring otonom yang menggerakkan inovasi dari bawah, menghargai eksperimen, dan mampu bertahan dalam situasi krisis dengan lincah. Dunia bisnis yang masih terpaku pada rencana yang kaku akan tertinggal dalam dinamika baru yang menuntut ketangkasan, iterasi cepat, serta pengambilan keputusan yang didukung oleh aliran informasi real-time dan transparan. Negara tidak lagi bisa mengandalkan birokrasi yang lamban dan sentralistik. Pendekatan prototipe kebijakan berbasis eksperimen harus menggantikan paradigma regulasi kaku yang sudah ketinggalan zaman. Dunia pendidikan harus mengalami revolusi total, meninggalkan kurikulum berbasis standarisasi, menuju pendidikan yang menghargai keberagaman pola pikir, memupuk kemampuan berpikir sistemik, kreativitas, serta kolaborasi lintas disiplin yang menyiapkan manusia bukan sebagai penumpang pasif, melainkan penggerak aktif dalam dunia kompleks yang selalu berubah. Ini bukan saatnya bertahan dalam kenyamanan, melainkan era untuk berpikir ulang secara radikal, bergerak berani. Ketidakpastian bukan untuk dicegah atau diatasi, melainkan untuk dirangkul, dimanfaatkan, dan seringkali perlu diciptakan untuk menjadi sumber berbagai peluang, kreativitas, dan kebaruan.
Abad lalu, AS adalah puncak kekuatan industri. Dengan kapasitas industri dan inovasi terdepan, AS berproduksi dalam skala besar sambil menciptakan kelas menengah yang luas. Namun, sejak akhir abad ke-20, dominasi ini terkikis. Perusahaan Amerika seperti Apple dan Microsoft sukses secara global, tapi industri AS mulai melamah. Ini sebuah paradoks menarik: strateginya menang, tetapi negara kalah.
AS memimpin liberalisasi dan globalisasi, dengan memaksakan perdagangan bebas, deregulasi, dan offshoring sebagai strategi pertumbuhan ekonomi dan keunggulan kompetitif. Hal ini diperkuat masa Reagan-Thatcher dan dilembagakan dalam bentuk NAFTA dan dukungan atas keanggotaan RRC di WTO. Manufaktur padat karya dialihkan ke negara berbiaya rendah, sementara AS berfokus ke layanan bernilai tinggi dan inovatif, sambil menikmati manfaat efisiensi global.
Di level perusahaan, cara kerja ini efektif. Apple membangun salah satu ekosistem paling bernilai di dunia, dengan integrasi erat antara desain, software, layanan, dan hardware. Hampir semua hardware diproduksi dan dirakit di luar negeri, terutama RRC. Microsoft mendominasi perangkat lunak dan layanan enterprise, tetapi ekosistem globalnya—cloud, pengembangan sistem, dan rantai pasok—makin bergantung pada infrastruktur dan stabilitas politik internasional.
Makin jelas bahwa strategi berbasis ekosistem ini—meskipun brilian dalam skalabilitas, penguasaan pasar, dan profitabilitas—pada dasarnya rapuh. Strategi ini dibangun atas asumsi lingkungan global yang stabil, arus tenaga kerja lintas batas, modal, dan data yang tak terganggu, serta konsensus geopolitik yang kini mulai runtuh. Pandemi COVID-19, perang teknologi AS–China, dan meningkatnya kebijakan proteksionis di seluruh dunia menunjukkan rapuhnya mata rantai pasok dan ketergantungan atas platform tersebut.
Inti kelemahan terletak pada optimisasi efisiensi secara berlebihan dengan mengorbankan resiliansi. Dengan mengalihkan manufaktur penting ke luar negeri, AS kehilangan pekerjaan, juga pengetahuan industri, infrastruktur logistik, dan kemampuan merekonfigurasi produksi domestik secara cepat saat krisis melanda. Hal ini tampak pada krisis semikonduktor, APD, dan kebutuhan pokok lainnya selama pandemi awal dekade ini.
Model kapitalisme AS juga dangkal dan berorientasi jangka pendek. Perusahaan didorong memaksimalkan laba triwulanan dan nilai return, dan jarang berfokus pada berinvestasi pengembangan kapabilitas secara domestik. Serikat pekerja melemah, dan infrastruktur politik dan sosial yang didukung kelas pekerja ikut runtuh. Pergeseran budaya menuju “knowledge economy” diikuti gagasan bahwa produksi fisik kurang berharga daripada platform digital, kekayaan intelektual, dan rekayasa keuangan.
Ideologi dangkal ini juga diperluas ke Inggris, yang setia mengikuti strategi liberalisasi ekonomi AS. Di bawah kepemimpinan buruk Thatcher tahun 1980-an, Inggris melakukan swastanisasi industri besar, deregulasi sektor keuangan, pelemahan serikat buruh, dan self-positioning sebagai pusat global untuk layanan—terutama layanan keuangan. Seperti AS, Inggris membiarkan basis manufakturnya menyusut demi layanan bernilai tinggi yang terkonsentrasi di Tenggara, terutama London.
Tidak seperti AS, Inggris masih kurang di sisi skalabilitas, keragaman sumber daya, dan dominasi teknologi global. Inggris jadi mudah runtuh akibat ketimpangan regional yang mencolok, produktivitas yang menurun, dan kekurangan investasi kronis dalam infrastruktur dan pendidikan. Brexit, dalam banyak hal, merupakan ekspresi politik dari keterasingan ekonomi ini—pemberontakan terhadap globalisasi, sentralisasi, dan persepsi bahwa rakyat telah ditinggalkan oleh pengambil keputusan.
Di kedua negara, kita melihat kontradiksi inti: perusahaan menang secara global, namun ekonomi nasional menderita karena kerapuhan, ketimpangan, dan hilangnya kedaulatan di sektor-sektor strategis utama. Strategi berbasis ekosistem dari perusahaan seperti Apple dan Microsoft terus menghasilkan nilai yang besar, tetapi dikembangkan di atas geopolitik yang rapuh, tenaga kerja berbiaya rendah di luar negeri, dan jaringan logistik kompleks yang semakin rentan terhadap gangguan.
Ekosistem bisnis konon merupakan metafora dari ekosistem alam, yang berkembang melalui keragaman, redundansi, dan dukungan timbal balik. Tapi ekosistem bisnis yang dibangun oleh raksasa teknologi kadang justru kehilangan aspek semacam ini. Mereka cenderung bergerak ke sentralisasi, dominasi, dan efisiensi, membuatnya lebih menyerupai monokultur industri daripada ekosistem sejati. Ketika tekanan datang—dalam bentuk sanksi, pandemi, atau perang dagang—sistem-sistem ini tidak bergerak adaptif dan elastis, tapi justru patah.
Bukan berarti model ekosistem ini cacat secara mendasar. Model ini tetap menjadi salah satu kerangka kerja paling kuat untuk penciptaan nilai dalam ekonomi jaringan. Namun perlu ada (r)evolusi. Perusahaan harus membangun ekosistem yang efisien, namun sekaligus tetapi juga tangguh dan adaptif di level ekosistem (bukan di level perusahaan). Perlu dilakukan diversifikasi rantai pasok, investasi dalam kapabilitas lokal, dukungan atas kesehatan ekosistem, serta mitigasi atas risiko politik dan lingkungan.
Negara juga harus meninjau ulang cara kerjanya. Kembali ke proteksionisme bukanlah jawabannya, tetapi kembali ke liberalisme pasar juga salah. Sektor-sektor strategis harus dibangun kembali atau didukung secara domestik tidak hanya demi daya saing ekonomi, tetapi juga untuk ketahanan nasional. Kebijakan harus mendorong investasi jangka panjang, regenerasi regional, dan kebijakan industri yang selaras dengan inovasi.
Penerapan strategi berbasis ekosistem tidak boleh terlalu sempit dan dangkal. Perlu pandangan jauh ke depan, dan perlu perhatian besar terhadap kesehatan ekosistem ini sendiri. AS dan Inggris memberikan pelajaran bagi negara mana pun, bahwa ketahanan, kedaulatan ekonomi, dan kemakmuran inklusif akan sama pentingnya dengan efisiensi dan inovasi.
Tahun 1865, ekonom Inggris William Stanley Jevons mengamati sebuah ironi dalam revolusi industri: semakin efisien mesin-mesin uap dalam menggunakan batu bara, semakin banyak batu bara yang dikonsumsi. Efisiensi, yang semula dipandang sebagai jalan menuju penghematan, justru meningkatkan peran (dan dengan demikian: volume) batu bara dalam aktivitas ekonomi. Paradoks ini kemudian dikenal sebagai Jevons’ Paradox, yaitu bahwa peningkatan efisiensi dalam penggunaan suatu sumber daya justru cenderung memicu lonjakan konsumsi terhadap sumber daya tersebut.
Hampir dua abad kemudian, kita hidup dalam lanskap teknologi yang jauh lebih kompleks, dengan kehidupan digital yang diperkuat mikroprosesor dengan kemampuan proses miliaran butir data per detik, menghasilkan informasi dan pengetahuan yang luar biasa luas dan cepat. Menarik bahwa dengan dukungan kuat pada rasionalitas semacam ini, paradoks Jevons tidak menguap bersama asap batu bara. Ia bertahan dalam bentuk yang lebih subtil dan mungkin lebih dalam. Ketika perangkat digital menjadi lebih hemat daya, aplikasi menjadi lebih ringan, dan AI menjadi lebih efisien dalam inferensi, yang terjadi bukanlah penghematan kolektif, melainkan pelebaran permukaan konsumsi: lebih banyak data, lebih banyak sensor, lebih banyak pengolahan informasi, lebih banyak aplikasi, lebih banyak layar, lebih banyak keputusan yang diserahkan ke mesin. lebih banyak algoritma yang mengatur pilihan hidup, dan lebih banyak komputasi awan yang lebih mirip mendung asap tanpa berbatas.
Mobil listrik adalah studi kasus yang sempurna. Dipuja sebagai penyelamat lingkungan, teknologi ini diusung oleh pemerintah berbagai negara dan disambut kalangan industri sebagai simbol kemajuan hijau. Namun di balik citra bersih itu, muncul pola lama: teknologi digunakan untuk mendorong pembelian, meningkatkan produksi baterai yang boros sumber daya, dan membentuk kelas baru konsumen yang merasa berhak mengonsumsi lebih karena telah berbuat baik kepada lingkungan, plus pemerintahan yang mendorong konsumsi ini agar tampak memiliki kebijakan ramah lingkungan. Contoh lain adalah cloud computing yang dirancang untuk efisiensi infrastruktur digital, namun justru mendorong arsitektur digital yang masif, haus energi, dan bergantung pada pusat data yang semakin besar dan kompleks. AI, sedang kita kembangkan bersama, dalam bentuk model-model yang akan menghemat sumberdaya manusia dan mesin komputasi, namun dengan penggunaan yang meluas menjadi kebutuhan primer, dan akan memerlukan sumberdaya yang besar di semua titik.
Paradoks Jevon berusia nyaris dua abad, dan tentunya dilakukan koreksi, baik pada paradoks ini, maupun pada fenomena yang seharusnya dapat dikendalikan dengan memahami paradoks ini. Misalnya, regulasi dan kebijakan publik dirumuskan untuk menyeimbangkan pola konsumsi, dan membuat masyarakat dan teknologi lebih memihak lingkungan. Namun iklim politik ekonomi kontemporer yang ekstra-kapitalistik justru menjadikan kebijakan politik sebagai instrumen peningkatan konsumsi, bukan pembatasnya. Dorongan etis seperti budaya hidup secukupnya, kesadaran digital, keseimbangan hidup, dll juga tidak lebih baik. Politik dilemahkan para pebisnis; namun etika dilemahkan seluruh masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk mencari value yang absurd dengan konsumerisme yang makin berlebihan — plus diperkuat dengan algoritma yang lebih memudahkan konsumsi daripada mengangkat kemandirian rasionalitas pikiran manusia, wkwk.
Jika rasionalitas tidak mungkin dibangkitkan melalui kebijakan dan etika, mungkinkan dibangkitkan oleh rasionalitas lain? Misalnya melalui daya inovasi yang memberi nilai pada efisiensi dan sustainabilitas? Seharusnya, tapi saat ini belum cukup kuat. Kebutuhan yang dapat dibatasi saja, akan menemukan peluang kebutuhan baru. LED lebih hemat dari lampu, dan kebutuhan manusia akan lampu tentunya terbatas. Tapi LED kemudian dimanfaatkan untuk menyulap kota menjadi panggung iklan raksasa di semua titiknya. Efisiensi bekerja dalam sistem yang tidak bertanya “untuk apa?” tetapi “seberapa banyak lagi yang bisa dijual?”
Paradoks Jevons bukan sebuah hukum seperti hukum fisika yang tak bisa dilawan (**syarat dan ketentuan berlaku). Namun paradoks ini adalah cermin ideologis dari sistem ekonomi yang menjadikan efisiensi sebagai efisiensi peningkatan konsumsi. Kita tidak sedang melawan paradoks itu dengan inovasi, kebijakan, atau etika, melainkan memastikannya terus terjadi. Paradoks ini tetap hidup bukan karena ia benar secara mutlak, tetapi karena secara rasional, ia menjadi selalu teramati pada masyarakat yang serakah dan tidak mengenal kata cukup.
Ternyata aku pernah mèjèng di Instagram @TelkomIndonesia yang terkenal itu. Bagian kecil dari banyak kisah keberhasilan Padi UMKM di diprakarsai Telkom Indonesia dan ditumbuhkan para BUMN di bawah kepemimpinan Kementerian BUMN.
Cuplikan pada gambar di IG itu diambil dari sambutanku pada Padi Business Matching beberapa waktu lalu, yang juga sekaligus melaporkan interim report dari pencapaian total peran Padi UMKM memberikan transaksi sebesar 6 triliun rupiah selama 2024. Kutipan lengkapnya lebih jail dari yang tertulis: “Inovasi penciptaan platform itu soal kecil. Serahkan saja pada Telkom, pasti beres. Inovasi yang betul-betul hebat adalah inovasi penciptaan market, yang sudah dilaksanakan para BUMN dengan mengubah operasi procurement jadi kapabilitas penciptaan market, dan diakui sebagai inovasi yang berhasil.”
Fotonya sendiri diculik team Corcom (tanpa pemberitahuan sebelumnya, wkwk) dari foto bersama the Coventry Gang di TEMSCON ASPAC 2024 di Sanur.
Sambutan dalam kegiatan itu agak impromptu, disiapkan hanya beberapa menit sebelum naik, karena ternyata opening speech kegiatan ini dilakukan Telkom, bukan dari Kementerian BUMN. Jadi di dalamnya malah masuk teori kompleksitas, teori ekosistem, dan tentu inspirasi Clayton Christensen tentang inovasi.
Dalam bukunya yang terakhir sebelum beliau wafat, yaitu The Prosperity Paradox, Clayton Christensen menjelaskan bahwa inovasi penciptaan pasar (market-creating innovation) adalah jenis inovasi yang tidak hanya meningkatkan efisiensi atau mengoptimalkan pasar yang sudah ada, tetapi menciptakan pasar baru yang sebelumnya tidak ada. Inovasi ini berfokus pada penciptaan bisnis yang mengubah non-konsumen menjadi konsumen dengan membuka akses baru dan memberikan nilai bagi masyarakat. Konsep ini berbeda dengan inovasi efisiensi atau inovasi yang berorientasi pada pertumbuhan jangka pendek. Dalam konteks BUMN seperti di atas, mengubah operasi procurement menjadi kapabilitas penciptaan market sejalan dengan bagaimana perusahaan dapat menyusun inovasi lebih dari strategi pertumbuhan yang dangkal seperti follow the money dan low hanging fruit, atau hanya pada efisiensi biaya; tetapi justru dengan menggiring atau bahkan menciptakan pasar baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan inklusi.
Padi UMKM diluncurkan sebagai bagian dari Gernas BBI di tahun 2020, pada saat negara sedang mendorong berbagai pihak menciptakan program untuk menghidupkan kembali ekonomi rakyat yang tenggelam akibat krisis Covid. Tahun itu, kami sempat dipanggil KSP. Di sana, disampaikan bahwa dari sekian proposal program pengembangan ekonomi berbagai K/L pada tahun krisis 2020 itu, hanya Padi UMKM (Telkom / Kementerian BUMN) yang betul-betul jalan dan memberikan nilai yang cukup besar. Banyak yang lain masih terhambat berbagai faktor. Program Bela Pengadaan di jalan, tapi valuenya kecil. Sepanjang 2021, kami kampanyekan Padi UMKM dalam arus utama program pemulihan ekonomi nasional melalui Gernas BBI. Dan pada tahun 2022, sebagai ekspansi program ini, negara memberikan kepercayaan kepada Telkom untuk menyiapkan platform pengadaan publik baru yang dikelola LKPP.
Buku unik dari John Holland, Signals & Boundaries, memberikan perspektif yang lebih intuitif pada CAS (sistem adaptif kompleks), yaitu dengan menunjukkan bagaimana emergence justru dihasilkan dari interaksi yang bersifat lokal. Menurut Holland, sinyal (yang membawa informasi) dan batas (yang mendefinisikan dan melindungi elemen di dalam sistem) memiliki peran utama dalam pembentukan dan perubahan complex sistem (sistem kompleks). Perspektif ini dapat memudahkan kita memahami bagaimana interaksi lokal yang sederhana dapat menghasilkan pola global yang kompleks.
Pengaruh pandangan ini cukup luas pada komunitas complexity theory, termasuk para akademisi di SFI. Mereka memadukan gagasan Holland ke dalam kerangka yang lebih luas tentang teori jaringan dan modularitas, serta menjembatani model adaptasi yang ada sebelumnya dengan pendekatan komputasional yang lebih modern. Dengan menekankan peran komunikasi melalui sinyal dan pembentukan struktur melalui batas, Holland memberikan konsep praktis untuk analisis dinamika ekosistem, platform teknologi, dan jaringan sosial.
Kekuatan Holland terletak pada ketegasannya menggambarkan bagaimana interaksi lokal dapat menghasilkan emergence pada complex system. Elemen dalam sistem yang berinteraksi akan saling bertukar sinyal, yang berfungsi sebagai feedback loop, yang kemudian akan mendorong adaptasi perilaku serta mempengaruhi elemen di sekitarnya. Batas (boundary) memastikan struktur tetap terjaga dengan isolasi interaksi tertentu dari derau eksternal, sehingga memungkinkan subsistem berkembang secara independen namun tetap terhubung. Keseimbangan antara isolasi dan keterhubungan inilah yang mendorong munculnya pola-pola baru dan adaptasi dalam sistem kompleks, yang mewujud dalam emergence.
Tentunya terdapat kritik juga atas gagasan bahwa kompleksitas secara umum dihasilkan dari interaksi lokal. Fokus eksklusif pada proses bottom-up semacam ini dikhawatirkan dapat mengabaikan peran pengaruh global dan kausalitas top-down. Dalam banyak sistem, batasan yang bersifat menyeluruh, faktor lingkungan, dan dinamika kolektif dapat membentuk pola dan perilaku yang tidak bisa dijelaskan hanya melalui interaksi lokal. Fenomena emergence dinilai dapat juga dipengaruhi kekuatan global.
Lebih ekstrim dari ini, terdapat sudut pandang “strong emergence” yang berpendapat bahwa ada sifat-sifat sistem yang muncul di tingkat makro yang secara mendasar tidak dapat direduksi atau diprediksi dari interaksi komponen dasarnya. Dalam perspektif ini, interaksi lokal belum dianggap dapat menjelaskan fenomena kompleks yang muncul, sehingga ada karakteristik menyeluruh yang memerlukan pendekatan konseptual tersendiri.
Menarik andai dapat dikembangkan model yang menggabungkan interaksi tingkat mikro dengan struktur tingkat makro. Terdapat konsensus di antara peneliti bahwa pendekatan ganda — integrasi perspektif lokal dan global — dapat menjadi kunci memahami kompleksitas secara menyeluruh. Teori network dan dinamika sistem misalnya, menyoroti pentingnya korelasi jarak jauh dan global feedback loop yang melengkapi interaksi lokal. Pendekatan terpadu ini mengakui bahwa meskipun sinyal dan batas sangat penting, interaksi sistemik yang lebih luas juga berperan penting dalam memicu adaptasi dan self-organisation.
Perspektif atas sinyal dan batas dari Holland tentunya tetap merupakan kontribusi yang sangat berpengaruh dalam complexity science, termasuk peluangnya untuk mengenali dan mengembangkan penerapan CAS di berbagai bidang, melalui interaksi terdesentralisasi di tingkat lokal untuk menghasilkan emergence. Namun penting juga untuk menselaraskannya dengan perspektif yang berbeda, termasuk strong emergence dan pengaruh global, agar kita dapat memahami kompleksitas dari kompleksitas (hahaha) secara lebih utuh, termsauk dengan mendorong inovasi dalam cara memodelkan dan mengelola complex system di dunia nyata.
Last night I had the pleasure of attending the “Evening with Chevening” event at the British Embassy in Jakarta. This gathering was extra special as it marked the 40th anniversary of the Chevening Scholarship program, a UK government initiative that has been empowering future leaders worldwide since 1983. Over the past four decades, Chevening has built a global network of more than 57,000 alumni, including 20 current or former heads of state.
In Indonesia, the impact of Chevening is significant, with numerous scholars benefiting from the opportunity to pursue fully funded master’s degrees in the UK. The program covers university tuition fees, a monthly stipend, travel costs, and more, allowing scholars to focus entirely on their studies and personal development. Attending the event was a wonderful opportunity to connect with fellow alumni and celebrate the program’s ongoing commitment to nurturing leadership and fostering positive change in Indonesia and beyond.