A short visit doday to Bunda Heart Centre in the central part of Jakarta to discuss some inexplicable discomfort in my internal circulation — a part of internal supply chain strategic operation.
Playing with the electronic devices, I was reminded to my jokes on the complexity theory in my past lecture in Udayana University, when I jokingly asked that if I got a heart seizure on the very time, I didn’t think any people might help me in that room, even when they know that heart is composed by cells composed by molecules composed by atoms composed by protons and electrons etc, and the room was full with experts in electrons and protons.
Well, I will not tell you the result here. Not here, for sure.
Prof Ford Lumban Gaol was the Vice Chair when I serves as the Chairman of the IEEE Indonesia Section 2013-2015. He & I also co-lead the IEEE Tensymp 2016 in Bali. Then he experienced a lot as a visiting lecture in Russia and Japan. But today, we celebrate his inauguration as a Professor of Computer Science at the Binus University.
Dr Agnes, Prof Ford, Yours Truly — a reunion of 2013’s cabinet of the IEEE Indonesia Section
The inauguration was led by the Rector of Binus University, Dr. Nelly; and also attended by the Chair of the Senate Prof Harjanto Prabowo. Prof Harjanto mentioned that Prof Ford is the one who established Doctorate Program in Computer Science at Binus University.
As usual, the IEEE gang, i.e. the members of the Advisory Board and Executive Committee plus some other IEEE volunteers attended this inauguration as a special participants. Attended today: Prof Endra, Prof Dadang, Dr Wahidin, Dr Agnes, Mr Satriyo, and surely yours truly.
Serendipitously, I also met Dr Indra Utoyo as one of the speech presented, representing a community in Big Data development.
Dr Indra presented the collaborative innovation in Big Data-focused digital development and its influence to the society.
The ceremony was carried out ½ day, and continued by informal meetings & photo sessions.
As a part of the IEEE Indonesia Excom & Adcom coordinative meeting in Bali, we also visit Udayana University, to see the Advanced Research Laboratories, and also to carry out some sharing session to the academician and students.
Surely, first we had to meet the famous Prof Linawati, Dean of the Faculty of Technology, Udayana University. With Prof Lina, we established the IEEE Udayana University Student Branch 10 years ago, in my serving time as the Chairman of the IEEE Indonesia Section at that time, after a discussion at Fortech in Bandung.
This is a weekend lecture, so I just briefly discussed about the development of digital platforms as the core in current technology and business ecosystems.
And surely I spent a couple minutes to — again — make an introduction to the Complexity Theory. It’s always fun to tell people about this attractive thing. You can read more about this at the other part of this blog: [URL]
Our solidarity for Palestine is unquestionable. Our commitment for freedom, sovereignty, peace, and justice for Palestinian started decades ago after learning the apparent injustice that we naively expected to fade, aligned with the advancement of science, information, global partnership, etc etc. We were obviously wrong: the colonialism, injustice, inhumanity, crimes agains humanity etc are still here, leading the so-called civilised world.
With about a million people of Jakarta today, we attended a solidarity mob to show our commitment and solidarity for Palestine and Palestinian people. We delegitimate the existence of illegal criminal zionist entity currently occupying Palestine.
Like our founding father of Indonesia, we understand that the Palestinian people love peace, but they must fight for their freedom, dignity, and humanity. We must also fight the global misinformation and misleading discourses.
Hingga kini, masih sangat jarang ada kunjungan dari Presiden IEEE yang tengah menjabat ke Indonesia. Dalam catatan, Presiden IEEE pertama yang mengunjungi Indonesia adalah Prof Peter Staecker pada tahun 2013, waktu aku baru beberapa hari menjabat Ketua Umum (Chairman) IEEE Indonesia Section. Tahun ini, Presiden IEEE Prof Saiful Rahman mengunjungi Indonesia beberapa hari; sekaligus dalam bagian dari kampanye IEEE atas perubahan iklim. Beliau didampingi Ketua IEEE Indonesia Section saat ini, Prof Gamantyo, dan Ketua Terpilih IEEE Malaysia, Bernard Lim.
Sebagai bagian dari program ini, IEEE berkolaborasi dengan TVRI mengadakan diskusi on-air yang bertajuk “IEEE ASEAN Roundtable Discussion on Climate Change.” Acara diselenggarakan 27 Oktober 2023 di TVRI, dengan Prof Saifur Rahman sebagai pembicara utama, didampingi pembicara lain dari industri, universitas, lembaga riset, dan pemerintah sebagai peserta; dalam bentuk diskusi meja bundar. Penyelenggara kegiatan adalah TVRI, dipimpin Dr. Agnes Irwanti, salah satu anggota Dewan Pengawas, dan Iman Brotoseno, Dirut TVRI. Aku jadi salah satu pembicara, mewakili IEEE Advisory Board.
Aku memaparkan peluang pemanfaatan teknologi yang tersedia atau tengah dikembangkan, untuk mengurangi dan mengatasi dampak perubahan iklim. Perubahan iklim selalu menjadi salah satu motivasi di balik banyak inovasi kolaboratif dalam pengembangan teknologi dan bisnis berbasis teknologi.
Karena pekerjaanku di industri telekomunikasi, aku mengawali dengan memberikan contoh dalam industri mobile. Penggunaan radio kognitif (CR) dan akses spektrum dinamis (DSA) dapat mengoptimalkan teknologi hijau dengan meningkatkan efisiensi dan penghematan spektrum melalui adaptasi dinamis terhadap perubahan kondisi jaringan dan faktor lingkungan. Di daerah perkotaan dengan beban jaringan tinggi, CR dapat beralih ke pita frekuensi yang kurang padat, mengurangi konsumsi daya dan meningkatkan kinerja jaringan; dan juga dapat dioptimalkan untuk memilih infrastruktur jaringan yang paling ramah lingkungan. Perangkat CR dapat mengurangi daya saat berkomunikasi dalam jarak pendek, sehingga dapat menghemat energi. CR juga memungkinkan berbagi spektrum dinamis antara berbagai teknologi. Hal ini mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan mengurangi konsumsi energi dalam berbagai jenis jaringan yang dipadukan ini. Dengan blockchain, spektrum dapat dibagikan antara operator dengan pencatatan dan penghitungan biaya yang lebih mudah.
Dalam pendekatan yang lebih aplikatif dalam industri, paradigma pertumbuhan bisnis berbasis ekosistem telah mendorong perusahaan untuk berbagi kapabilitas, sumber daya, dan peluang; sehingga biaya dan risiko dapat ditekan, sekaligus mengurangi beban pada lingkungan melalui berbagai metode berbagi yang dipermudah oleh digitalisasi yang memungkinkan proses dan kemampuan dapat dimodulkan, digunakan kembali, diintegrasikan, diperbaiki, dan dikendalikan bersama antara bisnis yang bersifat kolaboratif atau bahkan kompetitif.
Penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan robotika memainkan peran penting dalam mengatasi perubahan iklim dalam berbagai cara. Beberapa contoh:
Teknologi ini dapat digunakan dalam robotika yang meliputi sensor otonom, drone, dan satelit untuk memantau dan mengumpulkan data atas parameter terkait iklim, seperti suhu, kelembaban, emisi karbon, deforestasi, dan lainnya. Teknologi ini membantu dalam mendapatkan data yang akurat dan real-time untuk analisis iklim.
AI memudahkan analisis data iklim yang besar, membantu para peneliti membangun model iklim yang lebih akurat. Model-model ini sangat penting untuk memahami perubahan iklim, penyebabnya, dan memprediksi iklim di masa depan.
AI digunakan untuk optimisasi konsumsi energi di berbagai sektor, termasuk transportasi, manufaktur, dan konstruksi. Smart grid dan sistem manajemen energi menggunakan AI untuk mengimbangi pasokan dan permintaan energi, mengurangi pemborosan, dan mengintegrasikan sumber energi terbarukan dengan efektif.
Manajemen logistik terintegrasi berbasis AI (4PL / 5PL) dapat mengatur layanan logistik untuk berbagi layanan logistik, dengan model rantai pasok yang lebih baik, didukung oleh prediksi permintaan dan produksi yang lebih baik. Ini akan mengurangi juga penggunaan bahan bakar dan beban lingkungan untuk memperluas fasilitas transportasi.
AI memperbaiki praktik pertanian, mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan hasil panen. Selain itu, robotika dapat membantu dalam pertanian presisi, mengurangi penggunaan bahan kimia dan meningkatkan keberlanjutan.
Ada banyak aspek teknologi lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kondisi lingkungan, termasuk manajemen energi, manajemen lalu lintas, pendidikan yang dipersonalisasi, dan lainnya. Pembicara lain juga menjelajahi apa yang dapat kita lakukan dalam bidang pendidikan, kebijakan pemerintah, dan bidang lainnya.
It is not a regular occasion of any serving IEEE President to visit Indonesia. In our official note, the first serving IEEE President to visit Indonesia was Prof Peter Staecker in 2013 — he visited Bali for an IEEE Educational Program awareness while I was only days starting my service as the IEEE Indonesia Section Chair. This year, Prof Saiful Rahman, the current IEEE President, is visiting Indonesia for a couple days. The visit is related to the IEEE campaigns in climate change; so it is also the theme of his visit. He is visiting Indonesia accompanied by the current IEEE Indonesia Section Chair, Prof Gamantyo, and the IEEE Malaysia Chair-Elect, Bernard Lim.
As one of the programs within his visit, the IEEE Indonesia Section co-organise with TVRI, an on-air discussion titled the IEEE ASEAN Roundtable on Climate Change. The event was carried out today in TVRI, with the IEEE President Prof Saifur Rahman as the main speaker, and teens of other speakers from the industry, universities, research centres, and government agencies as participants in round table discussion form — including yours truly, representing the IEEE Indonesia Section Advisory Committee, and the IEEE TEMS Regional Leadership Subcommittee. The organiser is TVRI, led by Dr Agnes Irwanti, a member of its Supervisory Board; and Mr Iman Brotoseno, the CEO.
I explored the opportunity of using currently available or currently developed technology to reduce and overcome the impact of the climate change. Climate change is always one of the motivations behind many collaborative innovations in the development of technology and technology-based business.
Since I work in telecommunications industry, I started by giving an example in mobile industry. The use of cognitive radio and dynamic spectrum access (CR/DSA) may optimise green technology by improving the efficiency and utilisation the spectrum by dynamic adaptation to changing network conditions and environmental factors. In urban areas with high network congestion, CR can switch to less crowded frequency bands, reducing power consumption and improving network performance; and it could also optimised to choose the most green-powered network infrastructure available. CR device can lower its power when communicating over shorter distances, conserving energy. CR also enables dynamic spectrum sharing among different technologies. For example, a cognitive radio network can share spectrum with existing cellular networks during peak traffic hours and switch to alternative bands during off-peak times. This optimises resource usage and reduces energy consumption in both networks. With the use of blockchain, spectrum may be shared among operators with easier accounting and cost-sharing.
In more applicative approach in the industry, the paradigm of of ecosystem-based business growth has motivated enterprises to share capabilities, resources, opportunities, so they can reduce the cost and risk, while also reduce the cost for the environment by many sharing methods used in business ecosystems, facilitated by massive digitalisation that enables process and capabilities to be modularised, reused, integrated, improved, and orchestrated among collaborative or event competitive businesses.
The use of technology like the AI and robotics play important roles in addressing climate change in various ways. Some examples:
The technology might be used for autonomous sensor-equipped robots, drones, and satellites to monitor and collect data on climate-related parameters such as temperature, humidity, carbon emissions, deforestation, and more. These technologies help in obtaining real-time and accurate data for climate analysis.
AI facilitates the analysis of huge amounts of climate data, helping researchers build more accurate climate models. These models are crucial for understanding climate change, its causes, and predicting future climate trends.
AI can optimize energy consumption in various sectors, including transportation, manufacturing, and buildings. Smart grids and energy management systems use AI to balance energy supply and demand, reduce wastage, and integrate renewable energy sources effectively.
AI-based integrated logistics management (4PL / 5PL) may orchestrate logistics services to share the logistics resources they have, with better supply chain model, supported by better demand and production prediction. It will also reduce the use of fuel and environmental cost to expand the transportation facilities.
AI can support agricultural practices, reducing greenhouse gas emissions and improving crop yields. Additionally, robots can assist in precision agriculture, reducing chemical usage and improving sustainability.
There are many more aspect of technology to be used to improve the environmental conditions, including the power management, traffic management, personalised education, etc. Other speakers also explored what we can do in the aspects of education, government policy, and others.
Even after the formal discussion, we still continue the discussion during the lunch session, after Friday-prayer session. I think it is also my first experience to accompany an IEEE President to a mosque to attend a Friday prayer session.
We closed the day with a more relaxing discussion during dinner at Plaza Senayan.
Batik Day a.k.a. Hari Batik Nasional is a national observance celebrated in Indonesia on October 2nd each year. The day is dedicated to celebrating the rich cultural heritage and artistry of batik, which is a traditional Indonesian fabric that is created using a wax-resistant dyeing technique. Batik has a long history in Indonesia and holds significant cultural and artistic importance.
On Batik Day, people across Indonesia, including government officials, students, and the general population, including yours truly, often wear batik clothing to celebrate the cultural significance of this traditional art form.
Batik Day was officially designated as a national day in 2009, recognising the importance of batik as an integral part of Indonesia’s cultural heritage. This celebration not only honours the craftsmanship and creativity of batik artisans but also fosters a sense of national pride and unity in Indonesia.
Question: Why do I collect batik designed with the stylisation of birds, instead of other animals? Anwer: Ravenclaw
Kopi Timor, terkenal dengan kualitasnya yang luar biasa, memiliki sejarah yang kaya di Timor-Leste, yang juga dikenal sebagai Timor Timur. Budidaya kopi di Timor-Leste dimulai selama era kolonial Portugis pada abad ke-18. Kopi diperkenalkan ke pulau ini oleh Portugis dan segera menjadi tanaman bernilai tinggi. Namun, selama Perang Dunia II, Timor mengalami pergolakan, dengan Jepang menduduki pulau tersebut dan menghancurkan sebagian besar perkebunan kopi.
Setelah perang, produksi kopi dilanjutkan, dan pada tahun 1970-an, Timor-Leste meraih kemerdekaan dari Portugal. Namun, pergolakan politik terjadi ketika negara ini menghadapi perjuangan panjang untuk kebebasan. Di tengah latar belakang ini, produksi kopi menghadapi banyak tantangan, termasuk konflik, ketidakstabilan ekonomi, dan akses terbatas ke pasar internasional.
Pada awal tahun 2000-an, Timor-Leste kembali stabil, dan upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali dan memperkuat industri kopi. Pemerintah, bersama dengan organisasi internasional dan LSM, memberikan dukungan kepada petani kecil, mempromosikan praktik berkelanjutan, meningkatkan infrastruktur, dan memfasilitasi akses ke pasar internasional.
Kopi Timor-Leste sebagian besar ditanam di daerah pegunungan negara ini, dengan memanfaatkan tanah vulkanik yang subur, ketinggian yang tinggi, dan iklim yang menguntungkan. Dua varietas utama yang dibudidayakan adalah Arabika dan Robusta, dengan Arabika menjadi yang paling dominan.
Profil rasa unik dari kopi Timor timbul dari kombinasi faktor-faktor ini: biji Arabika berkualitas tinggi, ditanam di bawah naungan hutan tropis, dan metode pengolahan tradisional. Petani sering menggunakan praktik organik, menghindari pupuk dan pestisida sintetis, sehingga menghasilkan kopi yang dipuji karena kelembutan, tubuh sedang, dan rasa ringan yang sedikit beraroma buah.
Industri kopi di Timor-Leste terutama didorong oleh petani kecil yang bekerja secara kolektif melalui koperasi. Koperasi ini memberikan platform bagi petani untuk mengumpulkan sumber daya, berbagi pengetahuan, dan secara kolektif memasarkan kopi mereka. Inisiatif perdagangan adil juga telah berperan dalam mendukung para petani dengan menjamin harga yang adil dan mempromosikan keberlanjutan.
Kopi Timor telah mendapatkan pengakuan global karena cita rasanya yang khas dan dampak sosialnya. Ia telah menjadi sumber kebanggaan bagi negara ini, melambangkan ketahanan, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Saat ini, Timor-Leste terus berfokus pada meningkatkan kualitas dan keberlanjutan industri kopi, memungkinkan petani untuk meningkatkan penghidupan mereka dan berkontribusi pada pertumbuhan negara.
Selain kasus Goto, kasus Bukalapak adalah potret nyata bagaimana euforia valuasi dan narasi politik dapat menutupi kelemahan mendasar dalam bisnis digital. IPO Bukalapak pada 6 Agustus 2021 dielu-elukan sebagai tonggak bersejarah, dengan nilai penghimpunan dana sekitar Rp 21,9 triliun (sekitar 1,5 miliar dolar AS) dan valuasi perusahaan lebih dari Rp 85 triliun (sekitar 6 miliar dolar AS). Bukalapak menjadi unicorn pertama yang melantai di Bursa Efek Indonesia. Pemerintah Indonesia gegap gempita mengklaim momentum ini sebagai simbol transformasi digital nasional, bahkan menempatkannya sejajar dengan kebangkitan ekonomi digital Indonesia. Namun, di balik gegap gempita, terdapat kelemahan struktural yang sejak lama dirasakan langsung oleh pengguna layanan.
Dari perspektif pengalaman pengguna, Bukalapak dikenal sangat lemah. Antarmuka aplikasi terasa ketinggalan dibandingkan Tokopedia atau Shopee, dengan navigasi yang membingungkan dan performa yang tidak mulus. Layanan pelanggan juga kerap dikeluhkan: respons lambat, solusi minim, dan sering kali tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas. Persoalan kualitas serta keaslian produk menjadi momok: banyak pengguna menemukan barang palsu atau rusak, dan ketersediaan stok yang tercantum di aplikasi tidak jarang meleset dari kenyataan. Mekanisme penyelesaian sengketa antara penjual dan pembeli berjalan lambat, birokratis, dan sering tidak berpihak kepada konsumen. Semua ini memperkuat persepsi bahwa Bukalapak kalah jauh dalam membangun kepercayaan pengguna.
Dari sisi bisnis, kelemahan pengalaman pengguna itu berakibat langsung: pangsa pasar Bukalapak terkikis oleh Tokopedia dan Shopee. Perusahaan mencoba bertahan dengan strategi “mitra warung” sebagai diferensiasi, tetapi strategi itu tidak cukup untuk menutup kerugian dari model marketplace utamanya. Pasca IPO, saham Bukalapak (kode emiten BUKA) yang ditawarkan dengan harga Rp 850 per lembar sempat melonjak sebentar, tetapi kemudian anjlok hingga berada di kisaran Rp 200–250 dalam dua tahun berikutnya. Artinya, nilai pasar Bukalapak yang semula lebih dari Rp 85 triliun tergerus menjadi hanya sekitar Rp 20–25 triliun. Investor publik yang membeli di harga penawaran perdana menanggung kerugian mendalam.
Muncul pertanyaan: mengapa IPO tetap dipaksakan dengan valuasi setinggi itu, padahal kelemahan Bukalapak sudah jelas terlihat? Jawabannya terletak pada narasi besar yang dibangun. Bukalapak diproyeksikan sebagai “champion lokal” untuk melawan dominasi pemain asing. Bank penjamin emisi, investor institusi, regulator, dan pemerintah bersama-sama mengemas IPO ini sebagai proyek kebanggaan nasional. Selama prospektus mencantumkan fakta kerugian dan risiko, maka IPO tetap sah secara hukum, meskipun valuasi yang dipatok jauh dari realistis. Yang terjadi bukanlah pemalsuan data, melainkan mobilisasi narasi politik dan ekonomi untuk menopang valuasi yang pada akhirnya rapuh.
Faktor politik memperkuat dimensi kasus ini. IPO Bukalapak dipakai sebagai simbol keberhasilan transformasi digital, dan beberapa tokoh yang berhubungan dengan perusahaan maupun proses IPO kemudian menduduki posisi strategis di BUMN maupun pemerintahan. IPO tidak lagi murni aksi korporasi, melainkan proyek politik yang dikemas dalam retorika kebanggaan nasional. Investor publik pada akhirnya kembali menjadi korban, membayar mahal untuk sebuah simbol patriotisme ekonomi yang tidak didukung fundamental bisnis.
Dengan demikian, kasus Bukalapak menunjukkan bagaimana kelemahan nyata—mulai dari kualitas antarmuka, layanan pelanggan, keaslian produk, hingga penyelesaian sengketa—dapat ditutupi sementara oleh narasi besar dan dukungan politik. Namun pasar pada akhirnya tidak bisa ditipu. Dari valuasi lebih dari Rp 85 triliun pada saat IPO, kini nilai pasar Bukalapak merosot ke seperempatnya. Pemalsuan data material di dalamnya tidak terbukti, sehingga tidak dapat dikategorikan kriminal. Tetapi jelas terdapat jurang antara narasi IPO yang didengungkan dan realitas di lapangan. IPO Bukalapak menjadi pelajaran pahit bahwa pasar modal dapat dijadikan panggung simbolik yang sangat mengabaikan profesionalisme dan etika, sementara pengguna dan investor publiklah yang menanggung akibat dari kelemahan struktural yang sejak awal tidak pernah dibenahi.