BBI (Bangga Buatan Indonesia) is a coordinative & collaborative programs to improve the economy and commercialisation of national products with special emphasis on MSME products, led by the Government of Indonesia — in this case the Coordinative Minister of Maritime and Investment (Menkomarves). Telkom is actively involved in this program via its MSME Digital Ecosystem programs, incl PADI UMKM and Rumah BUMN.
This year, some footholds have been established, including the BBI program itself, PADI UMKM & Bela Pengadaan, and some programs related to MSME in Creative Economy and Maritime & Fishery. For Telkom, the main role is to build, establish, and expand the platform-based digital ecosystem for MSME business, including their development and economic improvement.
The next thing to do is to build a context for integration among those separated systems and applications, to establish a real ecosystem supported with integrated information and platform, where all programs and activities could provide mutual support in leveraging different segments of MSMEs, including small and medium business in agriculture, fishery, forestry, creative industry, etc.
Happy Fountain Pen Day! Fountain Pen Day is celebrated on the first Friday of November. But what is so interesting with this classical instrument?
The history of fountain pen must start with the long development of writing instruments, including quill and qalam. But the modern fountain pen we know today was first patented in 1827 by Petrache Poenaru, a Romanian inventor. However, it wasn’t until the 1850s that fountain pens became popular, thanks to the innovations made by Lewis Waterman. Waterman developed a system that used capillary action to control the ink flow, which prevented leaks and made writing smoother and more consistent. He also created a reservoir system that allowed the pen to hold more ink and made refilling easier. These innovations helped fountain pens become more reliable and convenient than earlier models.
The popularity of fountain pens continued to grow throughout the 20th century, as new designs and materials were introduced. In the 1920s, the first ballpoint pen was developed, which threatened to replace fountain pens as the preferred writing instrument. And the digital era have virtually erased the necessity of fountain pens from our society. Today, fountain pens are only used as a symbol of sophistication and elegance. They are often used for signatures, calligraphy, handwriting, and personal expression.
I started using fountain pen when I was an SMP student. I was a quite diligent student and writer, so I wrote too much. Instead of having to buy too many ballpoints, I chose to use my father’s unused Ero fountain pen, and just fill it with ink from a big bottle of Parker’s Quink at my father’s desk. My brother also influenced me to buy an Ero “two in one” pen — a single instrument with a fountain pen nib and a ballpoint. Needless to say, my memory of my SMP time involved continuously colourful hand, spilt by the blue, red, purple ink.
After digital era, I just use fountain pens occasionally. Buying ink was also weird, when almost all communications are established using computers and mobile devices. Just somehow I tend to get interested in using manual or semi-manual technology. And that’s the reason I still use fountain pens, albeit occasionally.
Despite the convenience and ubiquity of digital devices, many people still prefer using fountain pens for a variety of reasons:
Writing Experience — Many fountain pen enthusiasts appreciate the smooth and effortless writing experience that fountain pens provide. The flow of ink from a fountain pen’s nib can make writing feel more tactile and enjoyable, and can help to reduce hand fatigue during long writing sessions.
Personalisation — Fountain pens are often highly customisable, with different nib sizes, ink colours, and styles of pen bodies and caps available. This allows users to create a writing instrument that reflects their individual tastes and preferences.
Sustainability — Fountain pens are often viewed as more sustainable than disposable ballpoint pens, since they can be refilled with ink and used for years or even decades with proper maintenance. This can help to reduce waste and save money in the long run.
History and Tradition — Fountain pens have a long and storied history, dating back to the 19th century. For many people, using a fountain pen can feel like a connection to that history and to the writers and thinkers who have used fountain pens to create some of the world’s most influential works.
During the Covid-19 pandemic, besides creating and doing important things for the nation (trust me, haha), I also spend more time to maintain, use, and add the collection of my fountain pen. Please visit my fountain pens collection here: https://pen.dance; and let’s dance with my pens.
Aku mem-WFH-kan diri di awal Maret tahun ini karena mendadak kena flu, baru bergabung dengan WFH resmi yang berlangsung panjang hingga menjelang Juli. Pun di hari-hari awal, sambil melihat yang terjadi di RRC dan Eropa, aku mulai mencatat prediksi-prediksi yang tidak optimis, termasuk bahwa (a) virus ini tidak akan pergi, dan kita yang harus menyesuaikan diri, serta (b) andaipun wabah menghilang, perilaku orang sudah berubah, setelah mengalami bahwa banyak aktivitas sebenarnya dapat didigitalkan. Dilengkapi beberapa kajian paper tentang transformasi di level ekosistem dll, sebenarnya aku siap memaparkan pada IEEE Leadership Summit: Engineering in Covid-19 Crises beberapa bulan lalu. Namun, ternyata aku lebih mengasyiki jadi moderator daripada jadi speaker :).
Beberapa bagian dari rencana presentasi itu akhirnya dimanfaatkan hari ini. Atas undangan Mr Ford, hari ini aku bergabung sebagai salah satu speaker dalam diskusi meja bundar (Round Table) dengan judul Business Development in the COVID-19 era: Challenges and Opportunities. Diskusi diselenggarakan Southern Federal University (SFedU) di Rostov, Russia. Narasumber diskusi ini berasal dari kalangan bisnis dan akademisi dari Jepang, Italia, Thailand, Indonesia, dan tentu saja Russia sendiri.
Paparanku dimulai dengan fakta bahwa dalam beberapa dekade terakhir, sebenarnya perusahaan global dan / atau perusahaan digital memiliki kecenderungan untuk mengembangkan bisnis dengan menumbuhkan ekosistem; dan hal ini mau-tak-mau telah mengubah perilaku dan budaya masyakarat. Jadi, bahkan tanpa krisis dan pandemi pun, transformasi digital dan ekosistem bisnis sudah menjadi keniscayaan. Pandemi hanya mempercepat.
Krisis yang terjadi secara serba mendadak mengharuskan masyarakat untuk mempertahankan aktivitasnya dengan teknologi atau apa pun yang dapat dilakukan. Kantor tutup, tapi orang dapat berkoordinasi dengan teks atau vicon. Rapat dan koordinasi lain jalan terus. Sekolah pun berpindah ke kelas vicon. Ini adalah tahap emergency, saat masyarakat sekedar memanfaatkan teknologi untuk memindahkan aktivitas yang telah ada. Ini segera diikuti dengan fase adaptasi, saatu terjadi perbaikan atau perubahan yang saling adaptif, baik di sisi teknologi maupun di sisi perilaku. Rapat dan koordinasi dianggap wajar dari tempat dan waktu yang tidak harus berdekatan. Informasi yang terbaharui dan kompehensif dapat digunakan bersama untuk mengambil keputusan tanpa harus benar-benar bertemu. Terjadi perubahan yang lebih filosofis. “Mengapa harus rapat? Karena kita ingin semua informasi yang updated dan komprehensif dari berbagai pihak dapat dipertimbangkan dengan berbagai feedback untuk menghasilkan keputusan terbaik. Nah, sekarang, dapatkah ini dilakukan tanpa rapat?” Disiplin pembaharuan data, disiplin pengambilan keputusan dengan informasi komprehensif, serta sistem feedback — yang semuanya sebenarnay dapat dilakukan dengan teknologi informasi yang telah ada sekarang. Maka masuklah kita ke fase transformasi, dengan model aktivitas bisnis, pendidikan, perdagangan, logistik, dievaluasi kembali, dan ditransformasikan memanfaatkan teknologi digital. Ini akan menghasilkan kapabilitas-kapabilitas dan peluang-peluang baru, yang menariknya justru menjadikan krisis ini sebagai pemicu terjadinya ekspansi.
Dan justru di masa krisis semacam ini, dengan keterbatasan yang luar biasa dalam pengembangan kapabilitas serta semakin rumitnya mencari peluang-peluang baru; maka secara pragmatis masyarakat dan bisnis mulai terbuka untuk saling memanfaatkan kapabilitas dan peluang dari pihak lain — terbentuk kolaborasi yang tidak harus bersifat formal, atau dengan kata lain: terbentuk model pertumbuhan melalui ekosistem.
Ekosistem sendiri dapat tumbuh secara alami, atau tetap dapat ditumbuhkan melalui perencanaan. Ekosistem seperti media sosial, proliferasi aplikasi mobile, dan lain-lain sebagian dipengaruhi oleh strategi yang dirumuskan pengembang platform, sebagian besar diatur oleh para pemakai, termasuk yang menambahkan berbagai feature yang dapat berpeluang menjadi platform yang berbeda. Misalnya, siapa yang lebih platform: Android (yang bisa ditumpangi banyak media sosial) atau Facebook (yang dapat memanfaatkan berbagai sistem operasi)? Namun secara teknologi dan bisnis, tetap perlu dan dapat dilakukan perencanaan pengembangan ekosistem, seperti saat kita mengembangkan bisnis yang bersifat sangat adaptif dan agile. Ekosistem harus dirancang untuk bersifat sangat dan sangat-sangat adaptif sejak awal.
This weekend, Mr Ford asked me to provide a presentation in a forum organised by the SFedU. The title of the forum is «Круглый Стол : Развитие Компаний в Период COVID-19: Вызовы и Возможнпсти» — or more or less: Round Table: Business development in the COVID-19 era: challenges and opportunities. SFedU, or Southern Federal University (Южный федеральный университет = ЮФУ) is a university in Rostov Oblast, Russia, with campuses located at Rostov-on-Don and Taganrog.
The speakers for this forum are from the academicians and business people from Japan, Italy, Thailand, and Indonesia.
In my presentation, I discussed again how these COVID-19 crises actually provide some contexts for us to design a strategic transformation by exploring the new opportunities and using potential collaborative innovations. In theory, we have all we need to start establishing it with synergistic efforts. I described in brief the way we can start planning the ecosystem.
The IEEE Computer Society Indonesia Chapter has carried out a member gathering today. Apparently, during the COVID-19 crises, it is not very easy to organise such meeting, albeit an online one — so this gathering presented no less than six presenters; two of which are Prof Cecilia Meras, the Past President of the IEEE Computer Society, and yours truly.
My presentation was titled «Digital Platforms for Society Resilience in Time of Crises». We have understood that these crises have motivated businesses to plan, do, or speed up some kinds of digital transformation. But the transformation should not only stop at adapting the business to the new situations — whatever they are. Instead, it is actually a just-in-time context to design a strategic transformation by exploring the new opportunities and using potential collaborative innovations. In theory, we have all we need to start establishing it with synergistic efforts.
Pembatasan sosial di masa krisis COVID-19 ini memaksa kita bekerja di rumah, plus mengurusi pekerjaan rumah. Asisten rumah tangga dll tidak disarankan ada di sekitar wilayah rumah. Kadang vicon urusan kepentingan negara pun dilakukan sambil cuci piring atau seterika. Namun, beberapa malam ini, setelah PADI UMKM sukses diluncurkan, dan vicon malam berkurang, pekerjaan menyeterika terpaksa dilakukan sambil cari aktivitas lain. Aku kurang suka menonton film. Tapi, daripada menonton baju, akhirnya film-film lama di iPad TV ditayang ulang. Sambil mensuasanai 75 tahun berakhirnya Perang Dunia II, beberapa hari ini filmnya tentang Perang Dunia II, e.g. Perang Stalingrad dan Perang Sevastopol.
Namun film Stalingrad membuat teringat pada tokoh Sergei Alexandrovich Vinogradov. Vinogradov ini perwakilan di Kedutaan Uni Soviet di Turki, dan pada usia 33 tahun dipromosikan menjadi Duta Besar. Turki berbatasan dengan wilayah yang sudah jatuh ke Jerman dan sekutunya; namun juga berbatasan dengan beberapa wilayah Uni Soviet di Kaukasus. Turki juga memiliki hubungan diplomatik yang tak terputus, baik dengan pihak Sekutu maupun pihak Jerman. Keberpihakan Turki sangat penting pada semua pihak. Namun sejauh itu Turki merasa tidak berkepentingan pada Perang Dunia II. Tak urung, Stalin mengerahkan pasukan dalam jumlah besar untuk menjaga perbatasan dengan Turki.
Saat itu pasukan Jerman telah menghancurkan tentara dan rakyat Uni Soviet, merangsek ke selatan hingga sungai Volga, siap mengepung Moskow. Pasukan Hitler juga telah dikirim ke arah Azerbaijan, mencari akses ke sumber minyak dan pertanian di Asia. Hanya tersisa celah tipis wilayah Uni Soviet antara wilayah yang mulai diduduki Jerman, dan negara Turki. Uni Soviet tak bersedia menyerah, dan terjadi perang paling mematikan sepanjang Perang Dunia II di Stalingrad.
Dalam situasi semacam ini, mendadak Vinogradov diminta kembali ke Moskow. Tanpa konsideran. Diminta segera kembali.
Vinogradov mencari penerbangan yang masih memungkinkan, menyeberangi wilayah perang, dan sampai di Moskow. Tidak ada perintah apa-apa lagi. Semua orang menyuruh menunggu saja. Dia diinapkan di sebuah hotel.
Di tengah malam, ia dijemput ke sebuah markas di wilayah Kuntsevo. Di sana, ia menjumpai tak lain dari Stalin sendiri, di meja makan, dikelilingi beberapa anggota Politbiro.
Vinogradov memberi salam kepada semuanya. Stalin mempersilakannya bergabung. “Berikan vodka dulu untuk Pak Dubes,” pinta Stalin. Vinogradov melakukan toast demi kesehatan Stalin, lalu minum. “Sekarang katakan, Pak Dubes, Turki akan memerangi kita atau tidak?” tanya Stalin. “Tidak, Kamerad Stalin,” jawab Vinogradov, singkat. “Berikan vodka lagi untuk Dubes Vinogradov,” ujar Stalin. Vinogradov minum lagi. “Jadi, Turki akan memerangi kita atau tidak?” tanya Stalin sekali lagi. “Tidak, Kamerad Stalin,” jawab Vinogradov. Lalu Stalin menutup, “Baik. Kembali ke Turki. Dan ingat selalu jawabanmu.”
Dengan jawaban Vinogradov itu, Stalin menarik mundur semua pasukan Uni Soviet di perbatasannya dengan Turki, dan mengirimkannya untuk memperkuat Stalingrad.
Sejarah mencatat bahwa perang Stalingrad menjadi titik balik Perang Dunia II. Jerman dapat dikalahkan, dipaksa mundur Tentara Merah Russia, terus mundur hingga kembali ke Eropa Timur, Eropa Tengah, lalu dipaksa menyerah dengan kota Berlin berhasil diduduki Uni Soviet.
Setelah perang, pernah Vinogradov ditanyai sejawatnya: dari mana ia tahu bahwa Turki tidak akan memerangi Russia. Vinogradov menjawab: tidak ada informasi dari petinggi Turki yang mana pun. Andaipun ada informasi, maka informasi mudah berubah dalam ketidakpastian dalam krisis dan perang luar biasa itu. Yang ia lakukan hanya memahami situasi dan kondisi moral yang ada pada para pemegang kekuasaan di Turki, diperoleh dari komunikasi dan pergaulan terus menerus.
Vinogradov pun memiliki jasa besar bagi kemenangan Sekutu di front Eropa Barat. Pemerintahan pelarian Jendral Charles de Gaulle memiliki peran aktif dalam kemenangan di front barat. Namun sebelum penyerangan, ia merasa perlu menanyakan apakah Pemerintah Uni Soviet dapat memberikan pengakuan pada pemerintahan de Gaulle sebagai perwakilan Perancis yang sah. Mereka minta bantuan melalui Vinogradov, dan Vinogradov memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat di Moskow untuk memberikan pengakuan yang diminta de Gaulle.
Di tahun ini, dan tahun-tahun sebelumnya, aku bekerja di Departemen Sinergi di tempat aku kerja sekarang. Ada unsur diplomasi di sana, ada unsur business intelligence, ada upaya kolaborasi kompetensi, ada penyusunan strategi bersama. Dan salah satu kunci dalam pekerjaan ini adalah terus menerus memahami suasana dan kondisi pemerintah pusat, kementerian, dunia bisnis, dunia industri. Tidak hanya dengan memperoleh informasi, apalagi informasi formal, namun dengan memahami konteks, serta membentuk konteks. Ketepatan pengolahan konteks ini yang menentukan apakah sebuah misi akan berhasil.
Andai tidak ada wabah COVID-19, tentu hari ini dirayakan luar biasa oleh para penggemar tulisannya di seluruh dunia. Antoine Marie Jean-Baptiste Roger, Vicomte de Saint-Exupéry, lahir di Lyon 29 Juni 1900. Hari kelahirannya kini disebut sebagai Hari Pangeran Kecil.
Juni tahun lalu aku sempat mengunjungi kembali dinding di Pantheon yang dipahat untuk mengenang Pahlawan Perancis yang menghilang saat misi pengintaian di pantai selatan Perancis 75 tahun sebelumnya (31 Juni 1944). Seorang pioneer di industri penerbangan beberapa dekade sebelumnya, dia memaksakan diri untuk terbang pada usia yang sudah tidak optimal, dan menghilang dalam tugas.
Buku Pangeran Kecil ditulis seolah sebagai memoar dalam keresahan St-Ex, yang bahkan melintasi waktu. Pangeran Kecil resah akibat ancaman kerusakan pada planetnya oleh baobab, akhirnya pergi ke bumi, untuk melihat dunia yang acuh dan bodoh. Dengan bekal seadanya — gambar domba saja — Sang Pangeran Kecil memutuskan kembali. Dia dipatuk ular padang pasir, dan pastinya meninggal, namun sebenarnya ia hanya menghilang. Begitupun St-Ex yang meninggalkan Eropa hanya untuk melihat masyarakat Amerika yang masa bodoh. Ia menyerahkan manuskrip Le Petit Prince ke penerbit, lalu kembali ke Eropa, dan hilang dalam misinya. Pastinya meninggal? Namun ia — seperti yang ditulis di dinding Pantheon — hanya menghilang.
Yang dikhawatiri St-Ex untuk dapat merusak Eropa adalah bibit-bibit totalitarianisme, kediktatoran, yang berawal seolah dari gerakan rakyat yang hendak mengangkat harkat hidupnya. Waktu kecil, tak jelas mana bibit tanaman biasa, dan mana tanaman perusak. Namun kita harus waspada. Pangeran Kecil rajin menyapu planetnya, memastikan tuna baobab tak tumbuh. Ia pun mencari domba untuk makan tunas baobab, sambil khawatir domba makan bunga mawarnya. Sebelum St-Ex pergi ke Amerika pun, ia telah didiskreditkan baik oleh Pemerintah Vichy yang mendukung pendudukan Nazi di Perancis, maupun oleh Jendral Charles de Gaulle sang pemimpin gerakan Perancis Merdeka. Pemerintahan Vichy — suka atau terpaksa — memang pendukung kediktatoran Hitler. Namun St-Ex melihat bahwa de Gaulle pun memiliki sikap dan peluang seorang diktator. Musuh kemanusiaan, dan ancaman bagi rakyat, bukan yang di kanan atau di kiri, melainkan potensi totalitarianisme, baik pada individu maupun kelompok.
Tahun-tahun peringatan 120 tahun lahirnya St-Ex (serta 75 tahun menghilangnya St-Ex tahun lalu) diperingati secara tenang, nyaris tanpa keramaian. Tahun lalu, Montblanc Jakarta mengundangku menyampaikan cerita Si Pangeran Kecil pada para loyal customer-nya. Montblanc menerbitkan edisi khusus St-Ex tahun 2017, dan edisi khusus Pangeran Kecil tahun 2018, 2019, dan 2020. Tentang perpenaan ini, sila simak di KALAM.ID.
Site LEPETITPRINCE.EU juga sudah makin dilengkapi dengan data buku Pangeran Kecil yang makin banyak dari 6 benua (minus Antarktika) dan 3 lautan, termasuk wilayah-wilayah di tengah samudera dan di sekitar kutub utara. Situs berbasis wilayah negara itu kini ditemani juga dengan situs baru PANGERANKECIL.COM yang berbasis akar bahasa. Jumlah buku sudah mencapai … ah apa sih relevansinya angka dengan dunia kita?
Since 2016 I have a new role in Telkom Indonesia as the AVP (now Project Leader) of the Industry Synergy. The role of Synergy Department is simply developing the capabilities (mainly digital capabilities) and expanding opportunities of Telkom Group by maximising the collaboration with the industry. As a government policy at that time, the collaborations are prioritised with the state-owned companies (BUMN) in Indonesia. More than three years have passed then. We have changed the Ministry of BUMN, Telkom’s CEO, Telkom’s BOD in charge of Synergy programs, SVP and VP of Synergy, etc. But we are still developing our paradigm of digital synergy, i.e. developing digitally supported economic ecosystems in different sectors.
Using a metaphor from the environment, an innovation ecosystems consists of interdependent parties with different or often competing objectives and concerns, living and growing together in a common digital space, unified using one platform or more to enable them to live better and grow faster. Co-creation, collaboration, and competition are some key activities of the innovation ecosystems.
Last year, the new Minister of BUMN has addressed Telkom Indonesia to develop five ecosystems: Tourism, Agriculture, Logistics, Education, and Healthcare. We even hired a prominent global consultant to help us design the ecosystem. But this February, I requested an approval from the uplinks to add another ecosystem: the MSME ecosystem, to support non-digital micro, small, and medium business enterprises in digital way.
Previously we have had a program called RKB to develop the capability of SMEs in Indonesia. RKBs (BUMN’s creative house) have been established in 245 of 514 cities and regencies in Indonesia. In RKB, BUMNs provide training, consulting, and other facilities to leverage the capabilities of the SMEs in three product categories: culinary, craft, and fashion. But RKBs have failed to attract the SMEs since they do not really improve the sales of the SME products. An MSME ecosystem, on the contrary, should start with MSME commercialisation in mind.
We started with a small design by utilising a multichannel marketing application called SAKOO as our first platform. In March, many cities and locations in Indonesia (and other part of the world) are locked down (until the time I’m writing this post, btw) due to COVID-19 pandemic. We found some contexts for the usecase of the platform. To generate market, we will use BUMNs (and public, using campaigns supported by BUMNs) to create demands for the MSME market. BUMNs may buy the products of the MSMEs for their need, or as an aid to support the communities or health facilities in. Surely we first tried it with Telkom. Telkom has started purchasing MSMEs products using this platform, and has also sent support to communities in Depok.
The Minister of BUMN has a new expert staff: Ms Loto S Ginting — a smart lady working previously as a Director in the Ministry of Finance, managing sovereign bond. Now she advises the Minister of BUMN in the issues of Finance and MSME development. Our BUMN Law (UU 19/2003) mentions indeed that the strategic roles of the BUMNs include providing services for public, counterweight for private business, and support to develop small business and co-operatives. We approached her to discuss this first stage of MSME Ecosystem development program. She enthusiastically accepted the program. In addition, she improve the plan to add B2B transaction facility to the first stage of the program. The transaction data from B2B and B2C are further combined with data taken from e-Procurement systems of the BUMNs to make a dashboard to ensure the increase absorption of MSMEs products and services by the BUMNs. She calls this program PADI UMKM, stands for Pasar Digital UMKM / MSME Digital Market.
Meanwhile, the Covid-19 pandemic has brought the nation into an economic crisis. To survive, MSMEs and their employees need the public involvement. The Minister addressed to rush the MSME platform development. We work with our startup partners: Anchanto, Tees, Payfast, etc to enrich PADI UMKM platform with wider multichannel, logistics management, B2B capability, financing facility, etc. We need to finish it next month (June), so we can start the transaction on July. Eight BUMNs have been selected for pilot project. A new PMO has been assigned to finish this project.
It still felt like a miracle that everything was only in ideation last February, and all activities are carried out during lockdown periods, with all meetings held using vicon, and coordination using whatsapp. Let’s hope we can finish it on June, to support more prosperous small business in Indonesia in long term, or at least, for now, just to have them survive these crises..
The IEEE Indonesia Section has successfully organised IEEE Leadership Summit: Engineering in Covid-19 Crises. This seminar was opened by the IEEE Region 10 Director, Prof Akinori Nishihara; with Minister of Research and Technology, Prof Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro as the keynote speaker; and yours truly and Dr Ford Lumban Gaol as the host.
The other prominent speakers on this seminar, are: Dr Chris Lee (IEEE R10 Industry Relation Coord), Patrick Liew, Dr Denny Setiawan (Ministry of Communications & Informatics), Arief Hamdani Gunawan (Telkom Indonesia), Deepak Mathur (IEEE R10 Director-Elect). The summit was fully supported by the IEEE R10 and the IEEE Singapore office.
Tahun ini IEEE Indonesia Section berkesempatan menjadi tuan rumah bagi IEEE Humanitarian Technology Conference (HTC), yaitu flag conference ketiga milik IEEE Region 10, setelah TENCON dan TENSYMP. HTC 2019 diselenggarakan di Universitas Indonesia, Depok. Aku hanya berperan sebagai advisor di konferensi ini, jadi tak banyak berperan selain di perencanaan awal. Di HTC 2017 di Bangladesh, sebenarnya aku diundang jadi salah satu invited speaker — namun saat itu gagal berangkat gara-gara kerumitan pengurusan visa Bangladesh.
Seperti juga TENCON dan TENSYMP, ada cukup aktivitas tambahan pada konferensi ini, mengambil kesempatan banyaknya international expert yang hadir di satu tempat — sayang kalau tidak dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu aktivitas tambahan ini adalah mini conference (mico) tentang IEEE Professional Activity.
IEEE R10 Professional Activity Mico diselenggarakan di Hotel Margo, Depok. Kegiatan ini umumnya menampilkan speaker dari kalangan akademisi dan industri. Speaker dalam sesi tahun ini adalah Prof Akinori Nishihara (Director of IEEE R10), Prof Takako Hashimoto (Secretary of IEEE 10 Excom), Nirmal Nair (Professional Activity Coord of IEEE 10), Prof Kalamullah Ramli (Univ of Indonesia), dan si aku dari Telkom Indonesia. Hadir juga dalam aktivitas ini: Prof Wisnu Jatmiko (IEEE Indonesia Section Chair)Emi Yano (IEEE R10 WIE Coordinator), Prakash Lohana (IEEE R10 Humanitarian Technology Coordinator), dll.
Karena paparan diharapkan berkaitan dengan eksplorasi engineering secara profesi, aku menyiapkan presentasi bertema inovasi kolaboratif dalam kerangka ekosistem. Namun panitia mendadak memberi subjudul tentang smart city. Maka jadilah presentasi ini berjudul: Smart City — a context for digital ecosystem collaborative development.
Diawali dengan pengenalan kembali akan konsep ekosistem, yang mengambil metafora dari ekosistem hayati. Ekosistem disusun sebagai kerangka pertumbuhan bersama dengan memanfaatkan kapabilitas dan ruang hidup (opportunity) bersama. Di dalamnya terjadi proses ko-kreasi hingga kompetisi, seperti juga ekosistem hayati. Sebagai pengikat untuk memastikan pertumbuhan efisien dan tidak liar, dibentuklah platform-platform. Pertumbuhan platform, komunitas, aplikasi, dll di dalamnya tidak sepenuhnya alami — karena itu diperlukan perencanaan dalam bentuk arsitektur sistem yang disusun bersama oleh para stakeholder awal (untuk kemudian tetap dapat dikembangkan). Teori arsitektur sistem kemudian juga dieksplorasi. Contoh kasus, tentu saja, tentang pengembangan smart city, sesuai pesanan panitia.
Usai presentasi dan diskusi-diskusi, mico dilanjutkan dengan pameran mini perangkat-perangkat IoT untuk dukungan program kemanusiaan, oleh mahasiswa UI. Diskusi dilanjutkan lebih informal pada sesi makan siang yang asik dan akrab, yang sekaligus mengakhiri mico ini. Kalau lebih panjang, namanya bukan mico.