Melengkapi expertise yang memanjang dari jaringan broadband, platform dan infrastuktur digital, kompleksitas dan ekosistem ekonomi, hingga strategi bisnis berbasis ekosistem, dan seterusnya, aku akhirnya terjebur ke pengembangan bisnis berbasis ekosistem sosioekonomis, termasuk UMKM, pertanian, dll.
Untuk pertanian, tugas ini belum sampai satu bulan aku pegang, tapi telah membawaku menjumpai PMO Kopi Nusantara. Sebuah workshop diselenggarakan di Rancabali, di tengah perkebunan teh milik PTPN VIII, di tepi Situ Patengang. Cuaca sejuk menarik, dan menggoda untuk mengawali dengan segelas kopi lokal dari Bandung Selatan.
PMO Kopi Nusantara dibentuk Kementerian BUMN di awal 2022, beranggotakan BUMN, industri, asosiasi, dan lembaga penelitian berkait pengembangan agriculture kopi nasional. Selain berisi pembinaan atas petani kopi, PMO juga menjalin sinergi antara industri dan petani, serta memperbaiki rantai pasok kopi nasional. Telkom berperan dalam PMO ini melalui pemanfaatan platform Agree. Piloting PMO diselenggarakan di empat provinsi, yaitu Lampung, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.
Industri kopi merupakan industri yang sangat penting bagi Indonesia, baik dari segi ekonomi maupun budaya. Indonesia dikenal sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia, dengan produksi kopi mencapai sekitar 650 kiloton per tahun. Kontribusi industri kopi terhadap perekonomian Indonesia mencapai ±1.25% total PDB.
Kopi juga merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Ekspor kopi Indonesia mencapai ±400 kiloton per tahun, dengan nilai ±US$ 1.1 miliar.
Kopi memiliki nilai penting bagi Indonesia dari segi ekonomi maupun budaya. Pengembangannya harus dilaksanakan secara sinergistik dengan memanfaatkan strategi berbasis ekosistem yang memberikan value maksimal, terutama untuk para petani kopi.
Mesa, Messa, atau Messah — pulau renik antara Pulau Flores dan Pulau Komodo yang dihuni suku Bajo. Pulau ini dihuni ±400 keluarga atau ±2000 penduduk. Suku Bajo memang secara tradisional dikenal sebagai manusia laut, jadi skala hidup mereka menyeberangi batas pulau; dan mereka juga kurang menyukai hidup di pulau besar bersama manusia daratan. Kota Labuan Bajo di Pulau Flores — sebelum jadi tujuan wisata utama seperti kini — sebelumnya adalah pelabuhan tempat masyarakat Flores dan masyakarat nusantara lain bertemu dan berdagang dengan suku Bajo (hence the name).
Pemerintah Indonesia sedang memberi perhatian lebih ke daerah terpencil semacam ini. Maka PLN diminta membangun pembangkit listrik tenaga surya di Messa. Adanya listrik membuka peluang lain. Telkomsel juga membangun eNodeB untuk 4G mobile, dan Telkom siapkan dukungan digital untuk pendidikan. Terdapat satu SMP di pulau itu, dan kami akan menempatkan 20 komputer dengan akses Internet di sana.
Aku belum menyelesaikan sarapan waktu Pak Hery dari CDC Telkom meminta kami berangkat. Sebuah perahu kayu berwarna pirus (hijau turki) tengah dimuati 20 box komputer. Bergegas kami melintasi jarak 10km dari Dermaga Ujung ke Pulau Messa.
Di kapal tidak ada makanan, haha. Tapi kopi manis dan cuaca cerah bikin pikiran cerah dan badan segar. Kemarau panjang membuat pulau di sekitarnya tampak gersang, namun justru menampilkan warna tanah dan batuan nan eksotik. Dan ada awan putih memanjang yang unik.
Hampir pukul 09:00, kami tiba di dermaga Pulau Messa. Tampak belasan anak kecil tertawa riang dan saling mengganggu. Satu per satu kotak komputer kami pindahkan ke dermaga. Dan anak-anak itu langsung lari membawa kotak itu. Kami ikut tertawa. Aku tertinggal di dermaga hanya dengan papan keterangan program yang kami siapkan, dan dua putri cilik. Papan itu pun mereka minta. Aku serahkan sambil bilang: “Tapi saya jangan ditinggal. Saya belum tahu sekolahnya.”
Jadilah aku dikawal dua putri cilik ini menyusuri rumah-rumah kayu bertumpuk-tumpuk yang rapi di jalan kecil yang sangat bersih dan rapi di Pulau Messa ini. Penduduk memberi salam sewajarnya. Sampai di SMP, aku lihat kotak-kotak komputer sudah mulai dibongkar, dan dipasang di meja-meja yang sudah tersedia. Aku istirahat sejenak dengan … kopi lagi. Segar.
Usai komputer, akses Internet, dan aplikasinya terpasang, murid-murid SMP Pulau Messa hadir ke sekolah. Ini hari Minggu, namun mereka hadir dengan seragam lengkap dan antusiasme yang tampak jelas dari mata cerah mereka. Kami mulai bergantian mengajari mereka cara mengoperasikan komputer, menggunakan keyboard dan mouse, memahami menu Windows, serta masuk ke aplikasi Pustaka Digital. Aplikasi Pustaka Digital (PADI) ini bersifat semi-online — hanya perlu online untuk mengunduh dan memperbaharui konten, namun kemudian tidak harus selalu online untuk digunakan oleh user — sehingga hemat pemanfaatan kuota digital.
Di sini keajaiban mulai terjadi. Anak-anak ini, beberapa menit sebelumnya sangat canggung memegang mouse. Lompat ke mana-mana, sampai diangkat ke mana-mana. Tapi setelah masuk aplikasi, mereka mulai asyik melihat materi pelajaran. Satu anak kecil berkerudung mencobai tes bahasa Inggris, yang merupakan gabungan dari kosakata dan tata bahasa. Di pertanyaan pertama, ia ragu akan jawaban yang ia pilih, dan minta aku memeriksa. Aku meminta dia memeriksa sendiri: kenapa dia pilih satu kata dan bukan kata lain. Dia ragu memilih satu jawaban. Dan riang sekali waktu jawabannya benar. Terulang di pertanyaan kedua. Riang lagi waktu dia benar. Dia jadi percaya diri, dan melanjutkan tanya bertanya. Dan, percayalah, semua jawaban dia benar. Score 100% pada percobaan pertama. Pulau unik dengan anak-anak jenius.
Di belakang, kepala sekolah (yang sebelumnya turut menginstalasi dan turut mengajar) berdiri diam melihat anak-anaknya asyik mencobai aplikasi ini. Ia ceritakan bahwa bertahun-tahun dia mengajukan proposal permintaan komputer ke Dinas Pendidikan. Setelah beberapa tahun, ia hanya mendapatkan satu komputer untuk administasi saja. Wajahnya menjadi keras, senada batik biru lengan panjangnya. Lirih ia lanjutkan: “Bapak lihat, dengan komputer-komputer ini, anak-anak ini tidak akan kalah maju dengan anak-anak Jakarta.”
Aku tidak bisa berkata-kata.
Cukup banyak yang bisa dilakukan dengan komputer dan akses mobile. Jadi aku berikan kesempatan pada para siswa untuk menanyakan apa saja. Mereka sungguh cerdas, dan menanyakan tentang berbagai hal, termasuk soal-soal sains. Haha. Di tengah kegiatan ini, kami sempatkan berfoto-foto lagi.
Menjelang sore, Menteri BUMN (waktu itu masih Bu Rini) datang ke Pulau Messa untuk meresmikan PLTS di ujung utara Pulau Messa. Beliau juga menyempatkan diri hadir ke SMP untuk melihat aplikasi pendidikan yang telah dapat digunakan oleh para siswa. Hadir juga para VIP BUMN, termasuk Dirut Telkom.
Setelah para VIP kembali ke Labuan Bajo, Kepala Sekolah mengundang kami makan siang yang terlambat di rumahnya. Kami tak bisa menolak, walaupun matahari mulai tenggelam. Lauk yang disajikan a.l. berbagai jenis ikan, udang, dan satu lobster besar (“Di sini sangat murah. Di Labuan Bajo bisa 500ribu itu,” — yang artinya di Jakarta dll bisa jutaan rupiah).
Perahu kami lepas tambang dari dermaga tepat saat matahari terbenam. Pemandangan yang luar biasa. Lapis mendung di ujung langit memberikan pengalaman matahari terbenam dua kali. Langit bernuansa merah ungu yang elegan.
Namun kemudian langit menjadi gelap, angin menjadi kencang, dan ombak makin liar meninggi. Kapal dan perahu besar yang melintas di kejauhan menambah hempasan ombak liar. Kelelahan, kami tidak sempat becanda lagi. Kopi juga sudah habis. Kami hanya diam, diiringi bunyi mesin perahu, dan kelap-kelip lampu hijau yang jadi penanda hadirnya perahu kami di tepi samudra luas.
BBI (Bangga Buatan Indonesia) is a coordinative & collaborative programs to improve the economy and commercialisation of national products with special emphasis on MSME products, led by the Government of Indonesia — in this case the Coordinative Minister of Maritime and Investment (Menkomarves). Telkom is actively involved in this program via its MSME Digital Ecosystem programs, incl PADI UMKM and Rumah BUMN.
This year, some footholds have been established, including the BBI program itself, PADI UMKM & Bela Pengadaan, and some programs related to MSME in Creative Economy and Maritime & Fishery. For Telkom, the main role is to build, establish, and expand the platform-based digital ecosystem for MSME business, including their development and economic improvement.
The next thing to do is to build a context for integration among those separated systems and applications, to establish a real ecosystem supported with integrated information and platform, where all programs and activities could provide mutual support in leveraging different segments of MSMEs, including small and medium business in agriculture, fishery, forestry, creative industry, etc.
Since 2016 I have a new role in Telkom Indonesia as the AVP (now Project Leader) of the Industry Synergy. The role of Synergy Department is simply developing the capabilities (mainly digital capabilities) and expanding opportunities of Telkom Group by maximising the collaboration with the industry. As a government policy at that time, the collaborations are prioritised with the state-owned companies (BUMN) in Indonesia. More than three years have passed then. We have changed the Ministry of BUMN, Telkom’s CEO, Telkom’s BOD in charge of Synergy programs, SVP and VP of Synergy, etc. But we are still developing our paradigm of digital synergy, i.e. developing digitally supported economic ecosystems in different sectors.
Using a metaphor from the environment, an innovation ecosystems consists of interdependent parties with different or often competing objectives and concerns, living and growing together in a common digital space, unified using one platform or more to enable them to live better and grow faster. Co-creation, collaboration, and competition are some key activities of the innovation ecosystems.
Last year, the new Minister of BUMN has addressed Telkom Indonesia to develop five ecosystems: Tourism, Agriculture, Logistics, Education, and Healthcare. We even hired a prominent global consultant to help us design the ecosystem. But this February, I requested an approval from the uplinks to add another ecosystem: the MSME ecosystem, to support non-digital micro, small, and medium business enterprises in digital way.
Previously we have had a program called RKB to develop the capability of SMEs in Indonesia. RKBs (BUMN’s creative house) have been established in 245 of 514 cities and regencies in Indonesia. In RKB, BUMNs provide training, consulting, and other facilities to leverage the capabilities of the SMEs in three product categories: culinary, craft, and fashion. But RKBs have failed to attract the SMEs since they do not really improve the sales of the SME products. An MSME ecosystem, on the contrary, should start with MSME commercialisation in mind.
We started with a small design by utilising a multichannel marketing application called SAKOO as our first platform. In March, many cities and locations in Indonesia (and other part of the world) are locked down (until the time I’m writing this post, btw) due to COVID-19 pandemic. We found some contexts for the usecase of the platform. To generate market, we will use BUMNs (and public, using campaigns supported by BUMNs) to create demands for the MSME market. BUMNs may buy the products of the MSMEs for their need, or as an aid to support the communities or health facilities in. Surely we first tried it with Telkom. Telkom has started purchasing MSMEs products using this platform, and has also sent support to communities in Depok.
The Minister of BUMN has a new expert staff: Ms Loto S Ginting — a smart lady working previously as a Director in the Ministry of Finance, managing sovereign bond. Now she advises the Minister of BUMN in the issues of Finance and MSME development. Our BUMN Law (UU 19/2003) mentions indeed that the strategic roles of the BUMNs include providing services for public, counterweight for private business, and support to develop small business and co-operatives. We approached her to discuss this first stage of MSME Ecosystem development program. She enthusiastically accepted the program. In addition, she improve the plan to add B2B transaction facility to the first stage of the program. The transaction data from B2B and B2C are further combined with data taken from e-Procurement systems of the BUMNs to make a dashboard to ensure the increase absorption of MSMEs products and services by the BUMNs. She calls this program PADI UMKM, stands for Pasar Digital UMKM / MSME Digital Market.
Meanwhile, the Covid-19 pandemic has brought the nation into an economic crisis. To survive, MSMEs and their employees need the public involvement. The Minister addressed to rush the MSME platform development. We work with our startup partners: Anchanto, Tees, Payfast, etc to enrich PADI UMKM platform with wider multichannel, logistics management, B2B capability, financing facility, etc. We need to finish it next month (June), so we can start the transaction on July. Eight BUMNs have been selected for pilot project. A new PMO has been assigned to finish this project.
It still felt like a miracle that everything was only in ideation last February, and all activities are carried out during lockdown periods, with all meetings held using vicon, and coordination using whatsapp. Let’s hope we can finish it on June, to support more prosperous small business in Indonesia in long term, or at least, for now, just to have them survive these crises..
Akhir tahun 2017, kami berada dalam persiapan sebuah kegiatan para BUMN di Paritohan, di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Suasana dingin berkabut, karena persiapan dimulai sejak dini hari. Namun tampak sebuah pemandangan indah di tengah kabut: PT PPI menyajikan kopi Toba. Di tengah kesegaran yang ditawarkan kopi panas Covaré itu, PPI memberikan kejutan dengan memberikan begitu saja kopi-kopi Toba Covaré kepada siapa pun yang mengaku pecinta kopi.
Di tahun 2018, aku sempat beberapa kali bekerja sama dengan PPI, sebuah BUMN yang berfokus pada perdagangan umum dan khusus atas beraneka produk sejak dari hulu hingga hilir, baik lokal maupun lintas negara; bahkan beberapa kali berjumpa dengan Bapak Agus Andiyani, Dirut PPI yang sungguh visioner namun sangat rendah hati. Namun di awal 2019, kembali PPI teridentikkan dengan kopi.
Pada paruh pertama 2019 ini, para BUMN sedang mempersiapkan alat pembayaran bersama — LinkAja. LinkAja harus dapat digunakan di berbagai produk, layanan, event, dan situs BUMN. Termasuk di antaranya adalah rest area dan pom bensin di jalan tol. Kami tengah mempersiapkan soft launch sebuah rest area di KM 260 — sebuah kawasan bekas pabrik gula di Banjaratma, Brebes, bersama Direktur Pertamina Pak Mas’ud Khamid. Kawasan ini akan diujudkan sebagai kawasan wisata (transit-oriented development) yang memanfaatkan bekas instalasi pabrik gula. Hall besar di Banjaratma dimanfaatkan sebagai café, resto, dan penjualan produk nasional. Di tengah persiapan yang melelahkan, tampak café yang sangat rapi, dengan brand Covaré yang terkenal itu, dan masih buka di tengah malam. Sambil lelah, kami langsung menyerbu café itu, pesan brewed coffee Wamena, Gayo, dll. Setelah kesadaran agak pulih, kami baru sadar bahwa sang barrista di café itu tak lain dari Dirut PPI, Pak Agus Andiyani sendiri. Hoooo.
Melayani curiosity kami, berceritalah Pak Agus. PPI memang mendapatkan tugas khusus dari Pemerintah RI untuk membina kawasan-kawasan rakyat yang potensial menghasilkan kopi bermutu sangat tinggi. Pembinaan diujudkan dengan menentukan kawasan pilot, memberikan pembinaan langsung kepada rakyat, memberikan bantuan benih dll, melakukan pendampingan dan menjaga keterjaminan mutu, hingga membeli kopi-kopi olahan rakyat itu, serta mengemasnya secara istimewa, dan mendistribusikannya ke seluruh dunia. Kawasan pembinaan lengkap dari Aceh hingga Papua.