Kopi dan Tantangan Iklim

Kopi arabika tumbuh secara optimal di dataran tinggi dengan suhu antara 18ºC — 22ºC dan curah hujan yang relatif stabil. Tanaman ini membutuhkan ketinggian di atas 1000 meter diatas permukaan laut, tanah kaya bahan organik, dan naungan alami pohon-pohon peneduh. Namun kondisi-kondisi tersebut kian sulit ditemukan akibat perubahan iklim. Suhu di banyak wilayah penghasil kopi terus meningkat, menggeser zona tanam ke wilayah yang lebih tinggi yang makin menyempit. Cuaca pun kian tak menentu: musim hujan datang lebih awal atau lebih lama dari biasanya, dan serangan hama seperti karat daun (coffee leaf rust) serta penggerek batang kopi makin sering terjadi, karena suhu hangat mempercepat siklus hidup patogen tersebut.

Para pemulia tanaman melakukan antisipasi dengan mengembangkan varietas kopi yang lebih tahan terhadap tekanan iklim dan penyakit, tetapi tetap memiliki mutu rasa yang mendekati arabika murni. Varietas Starmaya misalnya, adalah hasil persilangan antara Marsellesa (varietas tahan penyakit dari keturunan Timor Hybrid) dan varietas lainnya yang kemudian diperbanyak secara generatif menggunakan indukan steril. Starmaya menjadi salah satu kopi hibrida pertama yang dapat diperbanyak dengan biji dan bukan hanya dengan teknik stek atau cangkok, sehingga memudahkan petani kecil mendapatkannya. Ruiru 11 dan Batian, dua varietas unggulan dari Kenya, dikembangkan melalui persilangan berulang dan seleksi antar generasi, memadukan ketahanan terhadap coffee leaf rust dan nematoda dengan rasa mendekati varietas SL28 dan SL34 yang legendaris. Ketiganya kini menjadi andalan dalam banyak program adaptasi iklim, meskipun tetap menghadapi tantangan untuk mempertahankan atau bahkan memperkaya mutu rasa yang menjadi jantung budaya kopi arabika.

Inovasi lain terjadi di sisi pengelolaan lahan, melalui pendekatan pertanian regeneratif, yaitu menghidupkan kembali tanah dan ekosistem di sekitarnya. Petani berprakarsa menanam pohon penaung yang juga berguna secara ekonomi seperti alpukat, nangka, atau lamtoro; mempraktikkan pengomposan sendiri dari kulit kopi dan limbah organik; menggunakan tanaman penutup tanah (cover crops) seperti kacang-kacangan untuk menahan erosi; dan mengatur sistem air agar tanah tetap lembap di musim kering. Selain untuk hanya menjaga kesehatan tanaman kopi, cara ini juga meningkatkan keanekaragaman hayati dan menurunkan suhu di kebun.

Banyak praktik pertanian regeneratif yang dianggap baru justru menghidupkan kembali prinsip-prinsip leluhur tentang keseimbangan dan kelestarian. Kopi menjadi cermin hubungan manusia dengan alam, ilmu, dan harapan. Di Indonesia, terdapat contoh-contoh, misalnya bagaimana petani di Flores, Gayo, atau Toraja menyikapi perubahan iklim.

Di Gayo, Aceh Tengah, kopi arabika tumbuh pada ketinggian 1.200 hingga 1.600 meter, dengan tanah vulkanik dan suhu yang dulu ideal. Namun kini, petani menghadapi ketidakpastian panen akibat pergeseran musim dan tingginya curah hujan pada waktu yang tidak terduga. Serangan hama seperti penggerek buah juga makin sering. Petani Gayo merespons dengan memperluas agroforestri: kebun kopi diselingi tanaman penaung produktif, dan semakin banyak yang menghindari pupuk kimia berat. Koperasi di sana tidak hanya berfungsi sebagai pengumpul hasil, tetapi juga menjadi pusat edukasi fermentasi kopi, termasuk proses honey dan anaerobic fermentation yang dulu hanya dikenal di Amerika Latin. Banyak petani mulai memilih proses ini karena dapat menaikkan nilai jual dan membuat kopi Gayo tampil berbeda di mata pasar luar negeri.

Sementara itu di Toraja, Sulawesi Selatan, kopi tumbuh pada ketinggian 1.400 hingga 1.800 meter di kawasan berbukit dan diselimuti kabut pagi. Masyarakat setempat secara turun-temurun telah mempraktikkan sistem pertanian yang menjaga keberlanjutan lahan. Namun beberapa tahun terakhir, konversi hutan untuk pertanian lain dan tekanan ekonomi menyebabkan sebagian kawasan kehilangan pohon pelindungnya. Hasilnya: suhu naik, serangan hama meningkat, dan produktivitas menurun. Untuk menjawab ini, banyak petani Toraja kini menanam kembali pohon-pohon penaung, mengatur ulang saluran air lereng, dan berupaya mempertahankan shade-grown coffee sebagai identitas. Di sisi pascapanen, fermentasi semi-basah khas Toraja—yang biasanya dilakukan secara tradisional—mulai dikaji ulang dan disempurnakan dengan kontrol suhu dan waktu, demi menghasilkan rasa unik yang lebih konsisten dan bersaing di pasar specialty.

Di Flores, terutama wilayah Bajawa dan Manggarai, kopi arabika ditanam di ketinggian antara 1.200 hingga 1.500 meter, di bawah naungan hutan hujan kecil dan lereng vulkanik Gunung Inerie. Namun dalam sepuluh tahun terakhir, wilayah ini makin sering dilanda kekeringan ekstrem dan hujan deras yang datang tiba-tiba. Tanah mulai kehilangan kesuburan di beberapa tempat, terutama yang tidak dijaga dengan baik. Para petani muda di Flores mulai belajar membuat kompos cair dari limbah rumah tangga, menanam tanaman pengikat nitrogen seperti kacang tanah di antara kopi, serta menggunakan teknik terasering kecil untuk menahan air hujan. Pelatihan yang dilakukan oleh organisasi mitra dan koperasi lokal juga memperkenalkan pendekatan berbasis komunitas: bagaimana desa bisa mengembangkan branding kopi tersendiri dengan Indikasi Geografis, mengelola kebun secara kolektif, dan bahkan menyambut wisatawan yang ingin belajar langsung dari petani.

Ancaman iklim merupakan pemicu bagi kita untuk meninjau ulang cara bertani dan menghargai kopi. Kegiatan yang lengkap, meliputi riset genetika hingga pemeliharaan kearifan lokal akan membantu kopi Indonesia bertahan dan tumbuh, bersama semangat hidup yang tumbuh dari negeri perjuangan ini.

Robusta Temanggung

Grinder ini sudah makin berumur. Dulu aku grinding 14 detik saja untuk menyiapkan bubuk untuk diproses dengan Mokka. Tapi kini diperlukan sekitar 20 detik grinding. Aroma kopi yang sangat akrab dan nyaman mengisi ruang. Sekilas terasa ada nuansa aroma coklat dan rempah-rempah pasar, seperti saat kita berjalan di pasar tradisional di Jawa. Inilah Robusta Temanggung.

Temanggung merupakan kawasan pegunungan di Jawa Tengah. Ketinggiannya memungkinkan penanaman kopi arabika. Namun di kawasan ini banyak ditanam juga kopi robusta, khususnya di lokasi yang relatif lebih rendah: Pringsut, Kranggan, Kaloran, Kandangan, Jumo, Gemawang, Candiroto, Bejen Wonoboyo. Sejarah kopi di Temanggung lebih banyak bercerita tentang penanaman di kebun-kebun kopi rakyat, alih-alih berupa perkebunan besar. Juga terdapat kebun kopi yang dikelola sebagai bagian dari kompleks biara katolik di Rawaseneng.

Robusta temanggung memiliki corak rasa berbeda dengan kebanyakan robusta lain. Rasa pahitnya pekat namun balance, dengan nuansa aroma rempah yang menenangkan. Keunikan ini mendorong banyak pembeli di mancanegara mencari kopi jenis ini.

Warkop Waw

Robusta Lampung memiliki reputasi mendunia, jadi aku sudah bayangkan kopi ini jadi ikon kebanggaan Lampung. Tapi Shane Sihombing, GM Witel Lampung, mengajak kami melihat kopi unggulan lampung ini secara spesifik di Warkop Waw.

Warkop Waw bukan hanya sekedar warkop. Ismail Komar — seorang jurnalis — dan istrinya — seorang dokter — mengelola usaha produksi kopi, sejak pembinaan petani (yang dimulai dari pemilihan lahan perkebunan), pemilihan biji, pengolahan, roasting, dan seterusnya, hingga distribusi nasional. Komar kurang menyukai bisnis ekspor kopi, karena menurutnya justru kopi terbaik haruslah dikonsumsi di Indonesia dan jadi value bagi masyarakat Indonesia.

Sejarah dan posisi bisnis Komar didorong sejarah hidupnya. Sebagai jurnalis kelas berat, ia terbiasa hidup tak menghiraukan waktu, hingga terkena diabetes dan serangan-serangan sekunder yang tak kalah parah, hingga menjadi mirip mayat hidup bertahun-tahun. Salah dua yang akhirnya menyembuhkannya adalah ketelatenan sang istri yang merawat, serta terapi kopi. Setelah sehat, ia menekuni produksi kopi untuk menyehatkan masyarakat Indonesia.

Komar memilih kopi robusta (tetapi menyediakan kopi arabika juga). Namun robusta ini ditanam pada ketinggian 700 – 1200 mdpl. Biasanya ketinggian di atas 1000 mdpl sudah jadi bagian kopi arabika. Serangan hama karat yang lebih kecil — menurut Komar — mengurangi keharusan tanaman memproduksi zat yang bertujuan melawan penyakit tanaman, sehingga menghasilkan nutrisi yang lebih menyehatkan — termasuk kadar kafeinnya.

Komar dan Bu Dokter menemani kami hampir 2 jam penuh, setelah meninjau kesiapan jaringan dan fasilitas di Pulau Tegal Mas, Lampung. Ia memilih menghidangkan kopi dalam bentuk kopi tubruk. Sari kopi dengan kualitas terbaik — ujar Komar lagi — diperoleh cukup dengan menyerap sari dengan air yang cukup panas. Dengan effort ringan. Bukan dengan tekanan tinggi. Ini mengingatkanku pada produksi minyak zaitun, yang minyak kualitas tertingginya (extra virgin olive oil) justru didapat dengan perasan dengan tekanan yang tidak tinggi. Kualitas yang lebih rendah kemudian diperoleh dengan tekanan lebih tinggi. Sambil tertawa, Komar membenarkan perbandinganku.

Kopi seduhan karyawan Komar ini nyaman sekali. Balance. Tanpa sesuatu rasa apa pun yang mengganggu. Seolah memang diciptakan untuk badan kecilku yang sedang lelah dan kurang prima. Satu kegembiraan setelah cukup banyak hal-hal menarik di Lampung hari itu.

Konservasi Kopi Javara

Javara didirikan pada tahun 2008, dengan perusahaan bernama PT Kampung Kearifan Indonesia. Di Indonesia, brand Javara telah memiliki reputasi sebagai penyedia produk pertanian yang terkurasi dengan kualitas yang maksimal. Produk yang dikemas dan dipasarkan Javara meliputi produk beras, rempah dan berbagai bumbu, madu, dan kini juga kopi-kopi nasional.

Untuk produk kopi, Javara mengambil pendekatan melalui model konservasi yang mempertimbangkan sustainabilitas dan kelestarian lingkungan. Kebun-kebun kopi milik yang dikelola melalui kemitraan memiliki rupa yang menjadikanya bagian dari hutan hujan, bukan perkebunan yang mengambil alih fungsi hutan.

Kopi Javara ini diperoleh wilayah yang tersebar dari Aceh (Gayo), Batak, Jawa (Ciwidey, Pangalengan, Bandung, Garut), Bali, Flores, Sulawesi Selatan, hingga ke banyak wilayah lainnya.

Seluruh produk Javara dikemas secara profesional dan dipasarkan ke pasar kelas atas di perkotaan serta ke pasar 20 negara. Produknya konon berjumlah hingga 600-an dan melibatkan ribuan petani dan pengrajin industri pangan.

Covaré

Akhir tahun 2017, kami berada dalam persiapan sebuah kegiatan para BUMN di Paritohan, di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Suasana dingin berkabut, karena persiapan dimulai sejak dini hari. Namun tampak sebuah pemandangan indah di tengah kabut: PT PPI menyajikan kopi Toba. Di tengah kesegaran yang ditawarkan kopi panas Covaré itu, PPI memberikan kejutan dengan memberikan begitu saja kopi-kopi Toba Covaré kepada siapa pun yang mengaku pecinta kopi.

Lake Toba (Danau Toba), North Sumatra, Indonesia

Di tahun 2018, aku sempat beberapa kali bekerja sama dengan PPI, sebuah BUMN yang berfokus pada perdagangan umum dan khusus atas beraneka produk sejak dari hulu hingga hilir, baik lokal maupun lintas negara; bahkan beberapa kali berjumpa dengan Bapak Agus Andiyani, Dirut PPI yang sungguh visioner namun sangat rendah hati. Namun di awal 2019, kembali PPI teridentikkan dengan kopi.

Pada paruh pertama 2019 ini, para BUMN sedang mempersiapkan alat pembayaran bersama — LinkAja. LinkAja harus dapat digunakan di berbagai produk, layanan, event, dan situs BUMN. Termasuk di antaranya adalah rest area dan pom bensin di jalan tol. Kami tengah mempersiapkan soft launch sebuah rest area di KM 260 — sebuah kawasan bekas pabrik gula di Banjaratma, Brebes, bersama Direktur Pertamina Pak Mas’ud Khamid. Kawasan ini akan diujudkan sebagai kawasan wisata (transit-oriented development) yang memanfaatkan bekas instalasi pabrik gula. Hall besar di Banjaratma dimanfaatkan sebagai café, resto, dan penjualan produk nasional. Di tengah persiapan yang melelahkan, tampak café yang sangat rapi, dengan brand Covaré yang terkenal itu, dan masih buka di tengah malam. Sambil lelah, kami langsung menyerbu café itu, pesan brewed coffee Wamena, Gayo, dll. Setelah kesadaran agak pulih, kami baru sadar bahwa sang barrista di café itu tak lain dari Dirut PPI, Pak Agus Andiyani sendiri. Hoooo.

Melayani curiosity kami, berceritalah Pak Agus. PPI memang mendapatkan tugas khusus dari Pemerintah RI untuk membina kawasan-kawasan rakyat yang potensial menghasilkan kopi bermutu sangat tinggi. Pembinaan diujudkan dengan menentukan kawasan pilot, memberikan pembinaan langsung kepada rakyat, memberikan bantuan benih dll, melakukan pendampingan dan menjaga keterjaminan mutu, hingga membeli kopi-kopi olahan rakyat itu, serta mengemasnya secara istimewa, dan mendistribusikannya ke seluruh dunia. Kawasan pembinaan lengkap dari Aceh hingga Papua.

Semakin istimewa rasanya kopi Covare ini.

Kopi Hwie

Konon, kenyamanan menikmati kopi tidak selalu ditentukan oleh kualitas; tetapi juga oleh kebiasaan. Seorang rekan yakin bahwa kopi yang benar-benar kopi hanyalah Kapal Api. Dengan definisi semacam ini, buat aku yang tumbuh di kota Malang, rasa kopi standar adalah Kopi Hwie.

Di Pasar Klojen yang terletak di tengah kota Malang, terdapat toko Sido Mulia. Selain menjual kebutuhan rumah tangga, toko ini juga menjual kopi dengan merk Sido Mulia. Sido Mulia dikenal sebagai kopi yang memiliki rasa yang pekat dan aroma yang sangat khas, baik aroma kopi yang memenuhi toko maupun aroma kopi saat dijerang di rumah.

Perusahaan dan Toko Sido Mulia ini telah berdiri di Malang sejak tahun 1953. Pendirinya adalah Tjeng Eng Hwie. Banyak yang menyebut tokonya sebagai Toko Hwie, dan kopinya sebagai Kopi Hwie. Waktu masih tinggal di Malang, aku belum pernah baca ejaannya, dan cuma bisa menebak-nebak: Oei, Oey, atau Wie, hahaha. Kebijakan naturalisasi Pemerintah Indoenesia di awal 1960-an memaksa toko ini diubah namanya menjadi Sido Mulia, dan nama pemiliknya menjadi Witjaksono Tjandra. Saat ini, toko ini dikelola oleh generasi kedua, dipimpin Sonny Tjandra, dengan menjaga gaya tradisionalnya dalam pengolahan dan penjualan kopi.

Sido Mulia melakukan pemanggangan dan penggilingan kopi dengan standar mereka sendiri. Kemudian bubuk kopi dimasukkan ke dalam tong kedap udara. Rasanya dulu Sido Mulia hanya menjual kopi robusta. Biji kopi diperoleh dari perkebunan di daerah Dampit. Orang Malang pasti tahu daerah ini :). Namun kini mereka memproduksi juga kopi arabika yang diambil dari daerah sekitar Jember.

Tentu, sebagai kopi tradisional, Kopi Hwie lebih sedap dibrew. Dia ditargetkan untuk jadi kopi tubruk. Kalau dijadikan espresso, pahitnya terlalu kuat. Bisa dinetralkan dengan sedikit gula merah tapi.

Lain hari, kalau sempat berkunjung ke Malang, jangan cuma bawa apel dan tempe. Bawa juga Kopi Hwie yang pernah legendaris ini :).

Caswell’s Java

Tapi memang seharusnya ada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah lainnya yang bisa menahan sekian persen produk Indonesia terbaik agar tetap dapat dipasarkan di Indonesia. Teh dan kopi misalnya :). Dengan lelang dan kontrak jangka panjang, teh dan kopi terbaik hampir seluruhnya diekspor. Dan untuk memperolehnya kembali, kita harus melakukan reimport, dalam jumlah yang tentu jauh lebih kecil. Harganya jadi menarik, karena sudah terbebani sekian kali tarif dan bea ekspor dan impor di setidaknya dua negara :). Biarpun tidak secara khusus, Starbucks melakukan reimpor kopi-kopi Indonesia, agar pengunjung asing dapat memperoleh suasana Indonesia dengan kopi Indonesia di Starbucks Indonesia. Importir lain yang cukup menarik adalah Caswell’s.

Cabang Caswell’s Café pertama di Indonesia dibuka di Kemang tahun 2000. Di sini, didapati bahwa banyak pengunjung yang menginginkan kopi Indonesia, yang tentu dipilih dari kualitas terbaik. Henry Harmon, pemilik Caswell’s, memutuskan memenuhi permintaan itu. Ia mengikuti pelatihan2 untuk menyiapkan kopi berkualitas tinggu, lalu mengimpor pemanggang kopi Diedrich Roaster dari US. Barulah ia melakukan reimpor kopi-kopi Java dari Seattle.

Aku sendiri bukan penganut gaya hidup Kemang :). Jadi malah belum berminat datang ke café itu. Sua pertama dengan kopi Caswell’s justru terjadi di Urban Kitchen Pacific Place, tempat Caswell’s sempat menempatkan café kecil. Di sana dijual juga biji2 kopi yang ditempatkan di stoples kaca. Ada Java Mocha, ada Java Jampit, dll. Pada Abang Barista, aku tanya bedanya, dan sambil senyum malu, di mengakui bahwa dia nggak tahu bedanya. Aku harus coba dua2nya. Haha. Mungkin aku yang harus cerita ke Abang Barista bahwa Jampit adalah nama salah satu perkebunan di Gunung Ijen yang menghasilkan Java Arabica. Jadi nama itu mengimplikasikan kopi arabica yang 100% berasal dari Jampit. Homogen. Sedangkan Java Mocha, mungkin hasil blend.

Di sebelah East Mall Grand Indonesia ada Ranch Market baru. Di sana aku bersua Caswell’s lagi. Kali ini sudah dalam kemasan kedap udara yang rapi, berwarna hitam, dengan label stiker yang berisi jenis kopi, lengkap dengan penjelasannya. Java Mocha ternyata adalah blend dari Java dengan sedikit tambahan dari Abyssinia (tempat kopi mocha yang asli berasal). Aku ambil dua bungkus kemasan seperempat kilo, satu Java Jampit dan satu Java Mocha.

Si Java Mocha menemaniku sahur dari hari pertama Ramadhan tahun ini. Digiling 13,7 detik dengan grinder kecilku, terus disedu dalam cafetière selama 5 menit. Perfect taste. Memang soal rasa itu subyektif, jadi aku juga nggak banyak bahas di blog ini :). Tapi ini terasa pas sekali untuk menutup sahur, sekaligus mencatu darah dengan kafein sepanjang hari-hari Ramadhan.