IEEE R10 HTC 2025

Minggu lalu, IEEE Region 10 menyelenggarakan Humanitarian Technology Conference (HTC) 2025 di Chiba University of Commerce, Jepang, 28 September hingga 1 Oktober, yang mempertemukan para visioner global dengan mengusung tema “Beyond SDGs, A New Humanitarian Era with Intelligent Partners.” Konferensi ini menyoroti sinergi antara intelektualitas manusia dan sistem cerdas yang berkembang dalam meningkatkan dampak kemanusiaan melalui teknologi.

Saat Pembukaan, Presiden IEEE Humanitarian Technologies Board (HTB) Grayson Randall menyampaikan speech yang menekankan peran istimewa profesi insinyur dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Pesannya menegaskan bahwa insinyur bukan sekadar pemecah masalah, melainkan arsitek harapan yang mampu menjembatani inovasi dengan tanggung jawab sosial. Ia juga memaparkan berbagai peluang baru dalam program-program HT untuk mendorong proyek yang inklusif dan berdampak luas di kawasan Asia-Pasifik. Pada hari kedua, IEEE President-Elect Mary Ellen Randall menyampaikan keynote speech yang visioner tentang roadmap IEEE dalam memajukan profesi rekayasa selaras dengan tujuan pembangunan manusia global. Ia menjelaskan bagaimana arah strategis IEEE, termasuk etika digital dan inovasi berkelanjutan, berfokus pada satu misi utama, peningkatan kualitas hidup manusia melalui kolaborasi yang cerdas.

Hari ke-3 (1 Oktober), aku berpresentasi dalam Program Khusus 15 dengan judul “Synergy for Sustainable Impact.” Sesi ini dimoderatori oleh Allya Paramitha, dengan para panelis Hidenobu Harasaki, Husain Mahdi, Agnes Irwanti, Bernard Lim, Chie Sato, Saurabh Soni, dan aku sendiri. Diskusi membahas mekanisme kolaboratif antara teknologi, kebijakan, dan inovasi sosial untuk mempercepat hasil kemanusiaan yang berkelanjutan. Aku nyaris selalu memulai presentasi tentang sinergi, ekosistem, dan kolaborasi industri dengan menempatkannya dalam framework teori kompleksitas, yang menunjukkan bagaimana sinergi dapat menghasilkan nilai emergence secara non-linear dalam ekosistem kompleksitas. Fenomena emergensi inilah yang menjadi kunci transformasi menuju pencapaian SDG, khususnya dalam memperkuat inklusivitas, ketahanan, dan keadilan.

Aku mengacu pada visi nasional Indonesia, dengan menjelaskan pengembangan ekosistem komersialisasi UMKM sebagai model penerapan teknologi kemanusiaan. Melalui program-program yang meliputi juga pembiayaan mikro, platform digital, dan pemberdayaan koperasi, kita menunjukkan bagaimana teknologi dapat mengangkat pasar yang sebelumnya belum tergarap menjadi sistem yang produktif dan berkelanjutan. Aku juga memaparkan case dimana IEEE Indonesia SIGHT in Sociopreneurship and Sustainability melaksanakan program pengembangan kapasitas bagi Student Branch IEEE Indonesia, yang masing-masing merancang solusi lokal seperti sistem air tenaga surya, pemantauan berbasis IoT, dan inkubasi sosiopreneurship, sebagaimana sedang dijalankan oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Udayana. Proyek-proyek ini menunjukkan bagaimana keterlibatan berbasis rekayasa dapat berkembang menjadi sociopreneurship yang digerakkan oleh komunitas, dengan menjamin keberlanjutan melalui kepemilikan, replikasi, dan dampak yang terukur.

Pada Hari ke-0 (28 September), aku juga menceritakan versi ringkas program-program ini ke IEEE President-Elect Mary Ellen Randall dan HTB President Grayson Randall. Diskusi ini menjadi landasan bagi pengembangan lebih lanjut program kemanusiaan IEEE di Indonesia dan kawasan Asia-Pasifik, dengan fokus pada ekosistem digital, sosiopreneurship, dan model inovasi berkelanjutan. Program ini juga aku sampaikan dalam Program Khusus 13 (30 September), “From Innovation to Impact: Advancing IEEE Humanitarian Initiatives”, dalam HTA Forum untuk membahas penyelarasan strategis antara kerangka kemanusiaan IEEE dan pengembangan ekosistem regional.

IEEE R10 HTC 2025 ini bukan hanya diskusi antara gagasan, tetapi lebih sebagai aktivitas dinamis dari sinergi, serta perpaduan antara intelektualitas, empati, dan teknologi. Konferensi ini menegaskan bahwa keinsinyuran bukan sekadar tentang mesin atau sistem, melainkan selalu tentang kemanusiaan. IEEE R10 HTC 2025 menjadi tonggak lain dalam perjalanan kolektif untuk membangun dunia yang lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan, digerakkan oleh wawasan manusia dan inovasi cerdas.

IEEE HTC 2025

The IEEE Region 10 Humanitarian Technology Conference (HTC) 2025 was carried out at Chiba University of Commerce, Japan, from 28 September to 1 October, bringing together global visionaries under the theme “Beyond SDGs, A New Humanitarian Era with Intelligent Partners.” The conference highlighted the synergy between human intellect and emerging intelligent systems in advancing humanitarian impact through technology.

During the Opening Ceremony, Grayson Randall, President of the IEEE Humanitarian Technologies Board (HTB), delivered an address emphasising the special position of the engineering profession in improving and enhancing the quality of life. His message underscored that engineers are not merely problem-solvers but architects of hope, capable of bridging innovation with social responsibility. He further presented new opportunities within HT programmes to stimulate inclusive and impactful projects across the Asia-Pacific region. On the second day, IEEE President-Elect Mary Ellen Randall presented a visionary keynote speech outlining IEEE’s roadmap for advancing the engineering profession in alignment with global human development goals. She articulated how IEEE’s strategic directions, from digital ethics to sustainable innovation, converge towards one essential mission, the enhancement of human life quality through intelligent collaboration.

On Day 3 (1 October), I delivered my presentation in Special Program 15, titled “Synergy for Sustainable Impact.” The session, moderated by Allya Paramitha, brought together distinguished panellists Hidenobu Harasaki, Husain Mahdi, Agnes Irwanti, Bernard Lim, Chie Sato, Saurabh Soni, and your truly. The discussion explored collaborative mechanisms between technology, policy, and social innovation to accelerate humanitarian outcomes through sustainable synergy. I often begin my presentations on synergy, ecosystems, and industry collaboration by framing them within the principles of complexity theory, illustrating how synergies can generate emergent, non-linear value in complex socio-technical ecosystems. These emergences are the key to the transformations central to achieving the UN Sustainable Development Goals (SDGs), particularly in fostering inclusivity, resilience, and equity.

Drawing from Indonesia’s national vision, I illustrated how the MSME commerce ecosystem has become a model of humanitarian technology application in real-world contexts. Through programmes focusing on microfinance, digital platforms, and cooperative empowerment, the framework demonstrated how technology can elevate non-consumption markets into productive and sustainable systems. I also shared case studies in which IEEE Indonesia SIGHT in Sociopreneurship and Sustainability provides capability building for IEEE Indonesia Student Branches, each designing local solutions including solar-powered water systems, IoT monitoring, and sociopreneurship incubation, as currently being undertaken by Gadjah Mada University and Udayana University. These projects exemplify how engineering-led engagements can evolve into community-driven sociopreneurship, ensuring sustainability through ownership, replication, and measurable impact.

On Day 0 (28 September), I provided a briefing on these programmes to IEEE President-Elect Mary Ellen Randall and HTB President Grayson Randall. These exchanges laid the groundwork for advancing IEEE humanitarian initiatives in Indonesia and the Asia-Pacific region, focusing on digital ecosystems, sociopreneurship, and sustainable innovation models. I also discussed these programmes during Special Program 13 (30 September), “From Innovation to Impact: Advancing IEEE Humanitarian Initiatives”, where I joined the HTA Forum to discuss strategic alignment between IEEE humanitarian frameworks and regional ecosystem development.

The IEEE R10 HTC 2025 stood out not only as a conference of ideas but as a living demonstration of synergy, the fusion of intellect, empathy, and technology. The conference reaffirmed a timeless truth, engineering is not merely about machines or systems, but about humanity itself. The IEEE R10 HTC 2025 thus marked another milestone in the collective journey to build a more equitable, resilient, and sustainable world, powered by both human insight and intelligent innovation.

Diskusi IEEE — Wanita dan Teknologi

Peran utama IEEE dalam memajukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi global tidak dapat disangkal. Namun, di luar kalangan ilmuwan dan insinyur, peran IEEE ini belum banyak dipahami masyarakat. Asyiknya, sejak kepemimpinan Prof. Gamantyo Hendrantoro dan Dr. Agnes Irwanti di IEEE Indonesia Section, publikasi atas diskursus IEEE telah lebih banyak disebarluaskan ke masyarakat umum. Selama dua tahun berturut-turut, IEEE Indonesia telah menghadirkan Presiden IEEE ke Indonesia, menampilkan diskusi yang disiarkan di televisi untuk meningkatkan minat masyarakat Indonesia.

IEEE President 2024, Dr. Tom Coughlin, mengunjungi Jakarta minggu ini, didampingi oleh IEEE R10 Director Prof. Lance Fung, IEEE R10 Director-Elect Prof. Takako Hashimoto, IEEE R10 Women-in-Engineering Committee Chair Dr. Agnes Irwanti, IEEE Malaysia Section Chair Dr. Bernard Lim, dan IEEE Indonesia Section Chair Prof. Gamantyo Hendrantoro. Sebagai bagian dari kegiatan ini, pada tanggal 14 Mei diselenggarakan IEEE briefing, diikuti dengan talkshow yang disiarkan oleh TVRI.

Tema talkshow adalah “Membentuk Masa Depan: Peran Wanita dalam Industri” — menampilkan para pemimpin terkemuka dari industri, universitas, pemerintah, dan organisasi IEEE di kawasan ini. Salah satunya sohib lamaku, Elysabeth Damayanti, OVP Cybersecurity Telkom Indonesia. Talkshow dimulai dengan pembukaan oleh Dr. Agnes, dan beberapa key speeches dari Bu Mira Tayyiba sebagai Sekjen Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Dr. Laksana Tri Handoko sebagai Kepala BRIN.

Sebagai salah satu pembicara, aku mulai dengan menyebutkan implikasi Complexity Science: bahwa kita selalu mengakui keragaman pada sistem yang kita rancang, dengan bidang ilmu, agen, pemeran, dll yang sangat berbeda namun saling terhubung, dan menghasilkan emergence: hal baru, nilai baru, keunggulan baru, serta hal-hal yang tak teramalkan. Inilah cara Internet dan dunia digital kita berkembang, dan inilah cara ekosistem alam dan ekosistem bisnis bekerja. Perspektif ini mendorong inklusivitas, karena peran yang berbeda dari berbagai kelompok demografis dianggap penting untuk kelangsungan hidup dan inovasi semua sistem yang kita jalani, termasuk peran wanita. Ini adalah alasan utama untuk menurunkan kesenjangan gender.

WEF menebitkan Laporan Kesenjangan Gender Global 2023, yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-87 dari 146 negara dalam hal kesenjangan gender. Cukup rendah, tetapi masih di depan beberapa negara maju di Asia, termasuk Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Skor Indonesia sekitar 68% dalam hal pengurangan kesenjangan gender — termasuk kesenjangan yang cukup rendah dalam kualitas kesehatan, kesenjangan sedang dalam partisipasi ekonomi, dan kesenjangan tinggi dalam pemberdayaan politik.

Kita yakin bahwa transformasi digital — yang sedang kita kembangkan bersama — dapat digunakan menurunkan kesenjangan tersebut. Saat ini kita mengembangkan transformasi digital di tingkat strategis & bisnis untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dari bagian timur hingga barat Indonesia; dengan mengembangkan platform, mengimplementasikan percontohan dengan pemerintah, industri nasional, dan kemudian mengembangkannya. Kita bekerja untuk meningkatkan bisnis UMKM, pertanian, industri, pendidikan, dll, bahkan ke pulau-pulau terpencil di Indonesia. Terbukti, bahwa platform digital telah memberikan akses yang lebih luas kepada semua jenis kelamin secara cukup setara terhadap informasi dan pengetahuan, layanan, peluang pasar & bisnis. Namun, transformasi harus direncanakan dan dilaksanakan dengan hati-hati, disertai upaya pendidikan yang memadai.

Digitalisasi dalam proses kerja memungkinkan kita memberikan pemberdayaan yang lebih baik bagi perempuan. Ini dapat melewati banyak tantangan sosial, mendorong perempuan untuk mengurangi dampak penilaian negatif yang masih ada dari norma-norma tradisional. Transformasi bisnis memungkinkan inklusi yang lebih baik di tempat kerja dan bisnis pada umumnya. Ini juga merupakan peluang bagi perempuan untuk menggabungkan komitmen, kemampuan, dan peluang mereka. Gunakan layanan digital untuk memaksimalkan kolaborasi, bekerja dalam kemitraan, berani memimpin komunitas, memimpin perubahan, dan saling mendukung baik pada tingkat pribadi, tingkat organisasi, maupun ekosistem lintas industri.

Itulah salah satu kuncinya. Kunci lainnya adalah keragaman & keunikan. Perempuan harus menjaga identitas, kepribadian, dan pola pikir mereka sendiri, untuk mempertahankan perspektif & nilai yang berbeda; sambil membuka pikiran mereka terhadap budaya baru, cara berpikir yang berbeda.

Masih banyak waktu kemudian untuk mendengarkan para pembicara super-keren dalam acara ini. Ini salah satu hari paling berhargaku tahun ini: belajar banyak kebijaksanaan. Mudah-mudahan IEEE Indonesia Section terus melanjutkan kegiatan berharga ini lebih banyak lagi di masa depan.

IEEE Briefing

IEEE Briefing was led by the IEEE President of 2024, Dr Tom Coughlin, while he paid a visit to Jakarta this week, accompanied by IEEE R10 Director Prof. Lance Fung, IEEE R10 Director-Elect Prof. Takako Hashimoto, IEEE R10 Women-in-Engineering Committee Chair Dr Agnes Irwanti, IEEE Malaysia Section Chair Dr Bernard Lim, and IEEE Indonesia Section Chair Prof. Gamantyo Hendrantoro. As part of the leadership activities, this IEEE briefing was held on the morning of May 14, followed by a talkshow broadcasted by TVRI.

IEEE Leadership Summit: Engineering in Covid-19 Crises

The IEEE Indonesia Section has successfully organised IEEE Leadership Summit: Engineering in Covid-19 Crises. This seminar was opened by the IEEE Region 10 Director, Prof Akinori Nishihara; with Minister of Research and Technology, Prof Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro as the keynote speaker; and yours truly and Dr Ford Lumban Gaol as the host.

The other prominent speakers on this seminar, are: Dr Chris Lee (IEEE R10 Industry Relation Coord), Patrick Liew, Dr Denny Setiawan (Ministry of Communications & Informatics), Arief Hamdani Gunawan (Telkom Indonesia), Deepak Mathur (IEEE R10 Director-Elect). The summit was fully supported by the IEEE R10 and the IEEE Singapore office.

The next summit will be carried out on June 2020.