Cities Development as CAS

The research titled “Inter-City Firm Connections and the Scaling of Urban Economic Indicators” by Yang, Jackson, and Kempes, published in PNAS Nexus (Nov 2024), presents a fresh perspective on how cities generate economic output. While traditional urban scaling theories focus on how local, intra-city interactions drive economic productivity, this study argues that inter-city connections — especially through multinational firms — play an equally, if not more, significant role. By analysing GDP data from cities in the US, EU, and PRC, alongside the Global Network Connectivity (GNC) of multinational firms, the study reveals that cities with higher inter-city connectivity exhibit higher-than-expected GDP, even after accounting for population size. This finding challenges the conventional idea that urban scaling is driven solely by local social interactions, offering a new lens for understanding complexity in urban systems.

This study is an example of how complexity science can be applied to real-world systems like cities. Cities, as complex adaptive systems (CAS), exhibit emergent behaviours, such as superlinear scaling of GDP, where larger cities tend to be disproportionately more productive. Traditionally, this emergent property was attributed to denser local social interactions. However, the authors introduce a new dimension of complexity by demonstrating how inter-city firm connections serve as an additional mechanism for economic emergence. Using the concept of networked systems, cities are modelled as nodes connected by firms, and the GNC score quantifies the strength of these connections. The research shows that GDP is influenced not just by a city’s local population but also by its position within this global network. This insight extends the complexity science framework by highlighting the role of cross-city organisational linkages in shaping global economic output.

The study also provides methodological advances that enrich the complexity science toolkit. It uses Scale-Adjusted Metropolitan Indicators (SAMI) to compare how cities “overperform” or “underperform” in GDP relative to expectations. This allows for a nuanced view of which cities benefit most from inter-city connections. Furthermore, the use of multilevel regression models that incorporate both local (population) and global (GNC) factors reveals the nonlinear dynamics at play. Such nonlinear scaling, where population alone cannot explain GDP growth, suggests the presence of feedback loops where better-connected cities become more prosperous, and prosperous cities become better connected. These insights underscore how complexity science can offer more accurate, multi-layered models of urban growth, moving beyond simplistic population-based approaches.

The implications of this research go beyond academic curiosity. For policymakers, it suggests that urban economic development strategies should prioritise enhancing global connectivity. Cities can benefit from strengthening ties with multinational firms, facilitating cross-city collaborations, and becoming key nodes in the global urban network. This is a shift from the classic focus on improving only local conditions, such as infrastructure or intra-city mobility. For complexity science, this study exemplifies how theories of self-organisation, emergence, and adaptive networks can be operationalised in practical, high-impact research. The work highlights the potential for developing a more comprehensive urban scaling model that integrates both local and global processes. By bridging concepts from complexity science with urban development, the study opens new possibilities for future research into how global interconnections influence local outcomes, from economic growth to social inequality.

Source: Vicky Chuqiao Yang, Jacob J Jackson, Christopher P Kempes, 2024, Inter-city firm connections and the scaling of urban economic indicatorsPNAS Nexus 3:11, DOI: 10.1093/pnasnexus/pgae503

Tema Awal 2025

Annual letter dari Future Today Institute memaparkan situasi yang terjadi di akhir 2024 serta dampak yang perlu dipertimbangkan di 2025. Ringkasannya dipaparkan di bawah ini.

1. Technology Supercycle: Tahun 2025 menandai dimulainya “Supercycle Teknologi” yang dipicu oleh konvergensi teknologi-teknologi baru seperti AI, sensor canggih, dan bioteknologi. Periode percepatan inovasi ini dapat menyaingi revolusi besar sebelumnya seperti listrik dan internet, memicu pergeseran ekonomi, munculnya industri baru, dan transformasi sosial.

2. Living Intelligence: Lebih dari sekadar AI, sistem “kecerdasan hidup” akan menggabungkan AI, sensor canggih, dan bioteknologi untuk menciptakan sistem yang dapat beradaptasi dan belajar sendiri. Sistem ini akan mengubah industri dan pasar, mendorong para pemimpin untuk melampaui pemikiran berbasis AI semata agar dapat menangkap peluang dari konvergensi ini.

3. PLAMs, CLAMs, & GLAMs: Evolusi dari LLM (Large Language Models) ke LAM (Large Action Models) akan memungkinkan eksekusi tugas secara real-time, bukan hanya pembuatan konten. Model tindakan pribadi (PLAM), perusahaan (CLAM), dan pemerintahan (GLAM) akan mengotomatiskan pengambilan keputusan, merampingkan pengalaman pengguna, dan beroperasi secara mandiri dengan memanfaatkan data perilaku.

4. Weird Tech Alliances: Kemitraan yang tak terduga, seperti Apple yang menggunakan chip pelatihan AI milik Amazon, menandakan pergeseran menuju kolaborasi lintas industri. Para pemain besar cloud seperti AWS, Microsoft, dan Google semakin banyak bermitra dengan raksasa teknologi lainnya untuk mengembangkan infrastruktur AI generasi berikutnya.

5. Crypto Winter Thaws: Kenaikan Bitcoin hingga mencapai $100K terkait dengan terpilihnya Donald Trump, yang berjanji menjadikan AS sebagai “pusat kripto dunia” dengan mendorong deregulasi pasar. Usulan Trump untuk menciptakan cadangan strategis kripto dan pengangkatan tokoh pro-kripto sebagai ketua SEC mengisyaratkan kondisi yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan mata uang kripto pada tahun 2025.

6. Quantum Computing’s Breakthrough: Kemajuan dalam koreksi kesalahan dan sistem hybrid kuantum-klasik mendorong komputasi kuantum ke arah komersialisasi. Investasi dari Google, IBM, dan pemerintah AS bertujuan membuat sistem kuantum lebih mudah diakses, dengan sistem hybrid menjadi peluang bisnis dalam waktu dekat.

7. Climate Tech Innovation: Perubahan iklim akan meningkatkan permintaan terhadap inovasi teknologi seperti desalinasi, beton pengurang karbon, dan alternatif GPS. Seiring meningkatnya cuaca ekstrem, kebutuhan akan infrastruktur yang tangguh akan mendorong percepatan komersialisasi dan adopsi teknologi iklim.

8. Nuclear Energy Comeback: Reaktor Modular Kecil (SMR) semakin diminati sebagai alternatif bersih dan skalabel untuk pembangkit listrik tenaga nuklir tradisional. Microsoft, Google, dan Amazon berinvestasi dalam SMR untuk memasok energi pusat data mereka. Pemerintah AS juga mendukung pengembangan SMR, dan energi fusi mungkin akan mengalami terobosan besar pada tahun 2025.

9. Chaos in Europe: Ketidakstabilan politik di Prancis dan Jerman akan melemahkan kemampuan Eropa dalam mendorong inovasi, terutama dengan diberlakukannya UU AI Uni Eropa pada tahun 2025. Tanpa kepemimpinan yang kuat, sektor “Mittelstand” Jerman dan ekosistem teknologi Prancis mungkin kesulitan, yang pada akhirnya dapat mengurangi daya saing Eropa secara keseluruhan.

10. Washington’s Game of Thrones: Para miliarder teknologi, yang diperkaya oleh pemerintahan Trump, akan semakin menguasai proses pembuatan kebijakan di AS. Pengaruh Lembah Silikon di Washington akan meningkat, menggantikan otoritas tradisional pemerintah, karena para pemimpin teknologi memanfaatkan kekayaan dan pengaruh mereka untuk membentuk kebijakan yang menguntungkan mereka.

Sumber:
Webb, Amy. Annual Letter — 2025 Macro Themes + 2024 Signals Review. Future Today Institute. [URL]

6G Network

The 6G network will be the next big step in mobile technology, expected to launch around 2030. Currently in the research phase, it promises to go far beyond 5G and 4G with faster speeds, lower latency, greater capacity, and better connectivity. Using THz frequencies for higher bandwidth, AI for smarter networks, and quantum communication for advanced security, 6G will power exciting applications like holographic communication, brain-machine interfaces, autonomous systems, and the Internet of Everything (IoE), paving the way for a highly connected and intelligent future.

The foundational advancement of 6G indicates significant performance enhancements over previous generations:

  1. Spectrum Efficiency: With 5–10x improvement over 5G, 6G will maximise the spectrum use, enabling high-capacity transmissions for increasing network demands.
  2. Peak Data Rates: Exceeding 1 Tb/s, 6G will support next-generation applications like holographic communications and high-resolution immersive experiences.
  3. Latency: Reduced to 10–100 µs for over-the-air (OTA) transmissions, 6G enables ultra-reliable real-time applications such as brain-machine interfaces, autonomous systems, and tactile internet.
  4. Mobility: With support for 1000 km/h speed, 6G supports high-speed transportation systems like hypersonic travel and advanced railway systems.
  5. Connectivity Density: Connecting >10⁷ devices/km² will support dense IoT ecosystems, including smart cities, industrial automation, and ambient intelligence.
  6. Energy Efficiency: Efficiency to be improved 100 times, emphasising sustainability and minimising the environmental impact of the growing digital ecosystem.
  7. Traffic Capacity: With an area traffic capacity of up to 1 Gbps/m², 6G will provide consistent performance in densely populated urban centres and during high-traffic events.

6G technology is designed to address diverse and futuristic use cases, grouped into key verticals:

  1. Enhanced eMBB (FeMBB)
    • Holographic Verticals: Real-time holographic telepresence for virtual meetings, education, and entertainment.
    • Full-Sensory Digital Sensing and Reality: Immersive experiences that incorporate multiple senses in digital interactions.
    • UHD/SHD/EHD Videos: Ultra-high-definition video streaming for cinematic-quality remote collaborations.
    • Tactile/Haptic Internet: Real-time transmission of touch and feedback for applications like telemedicine and virtual reality.
  2. Enhanced Ultra-Reliable Low-Latency Communications (ERLLC)
    • Fully Automated Driving: Safe and reliable real-time communication for autonomous vehicles in urban and highway settings.
    • Industrial Internet: High-precision and responsive connectivity for smart factories, robotics, and industrial IoT systems.
  3. Massive Machine-Type Communications (umMTC)
    • The Internet of Everything (IoE) will become a reality with comprehensive integration of devices, systems, and environments, driving smart cities and personalised services.
  4. Enhanced Low Power Communications (ELPC)
    • Internet of Bio-Nano-Things: Advanced nanoscale connectivity for healthcare and biological systems.
  5. Long-Distance High-Mobility Communications (LDHMC)
    • Space Travel: Reliable communication for interplanetary exploration and space tourism.
    • Deep-Sea Sightseeing: Advanced communication systems for underwater exploration and operations.
    • Hyperspeed Railways: Seamless connectivity for passengers traveling at speeds greater than 1000 km/h.
  6. Energy Efficiency and Environmental Goals
    • Energy Harvesting: Devices will capture energy from ambient sources such as solar power or electromagnetic waves, reducing dependence on batteries.
    • Zero-Power Communications: Some devices will operate solely on harvested energy, making them ideal for IoT in remote or inaccessible locations.
    • AI-Driven Energy Management: Artificial intelligence will optimize resource allocation across the network, ensuring minimal power usage without compromising performance.

Complexity Science for AI?

AI technologies are primarily developed by advancements in machine learning, particularly deep learning and natural language processing. An example is ChatGPT, which is built on the Transformer architecture, and employs deep neural networks with attention mechanisms to process and generate human-like text. While the architecture of these models is inherently complex, characterised by vast parameters and intricate layers, they do not rely heavily on Complexity Science as a core framework in their design or functionality.

There are actually some indirect connections between AI and Complexity Science. Deep neural networks, for instance, can be conceptualised as complex systems where simple components (neurons) interact to produce emergent behaviours, such as understanding and generating language. While Complexity Science provides valuable insights into such emergent phenomena, these principles are not the primary foundation for AI model development. Complexity Science concepts are also applied in training optimisation, where researchers study high-dimensional optimisation landscapes, convergence properties, and loss surface dynamics to improve the stability and efficiency of training processes. Interpretability in AI benefits from complexity-based approaches like network theory and information theory, which help uncover how information flows through neural networks. Another area of overlap is robustness and generalisation, where ideas from Complexity Science and statistical mechanics, such as phase transitions and criticality, aid in understanding why large, over-parameterised models perform well in real-world scenarios.

Despite these connections, we must acknowledge that Complexity Science has not been a major driving force in the development of AI technologies like ChatGPT. The creation of such models relies more on advances in neural network architectures, data processing, and algorithmic optimisation than on the theoretical foundations of Complexity Science.

There are some opportunities if we can enrich AI with principles from Complexity Science. It could enhance the adaptability, robustness, and interpretability of AI systems by providing them a better ways of managing dynamic, non-linear interactions and uncertainty in real-world environments. This integration could enable the creation of AI models that handle emergent behaviours more effectively, excel in predictive analytics, and exhibit greater resilience, moving the field closer to achieving general, human-like intelligence.

The challenges are on behalf of Complexity Science. One major limitation is its lack of standardised, predictive methods that can be broadly applied to complex systems. Most Complexity Science models are descriptive or exploratory, emphasising qualitative understanding over quantitative prediction. Additionally, complex systems are often highly context-dependent, making it difficult to generalise findings or develop uniform approaches. Computational intensity is another barrier; many complexity-based models, such as agent-based simulations, struggle to scale to the large datasets typical in AI. Furthermore, Complexity Science has historically focused on theoretical and simulation-based methods, while AI thrives on data-driven approaches, creating a methodological gap. Finally, the absence of a unified theoretical framework in Complexity Science makes it still challenging to translate its principles into practical, standardised tools for AI.

Complexity Science offers profound insights into the behaviour of complex systems but remains underdeveloped in areas critical for its integration with AI, such as predictive capability, scalability, and standardisation. As interdisciplinary research progresses and computational capabilities grow, these limitations may be addressed, unlocking new opportunities for AI systems to benefit from the rich, nuanced perspectives of Complexity Science.

Teori Institusi

Hadiah Nobel Ekonomi dianugerahkan tahun 2024 ini pada Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson, sebagai pengakuan atas Teori Institusi yang mereka kembangkan. Anugerah ini diumumkan 9 Oktober 2024, dengan tambahan bahwa teori mereka memberikan wawasan tentang penyebab kemiskinan atau kekayaan berbagai negara, lengkap dengan panduan bagi kebijakan pembangunan dan reformasi institusi.

Teori Institusi mengungkapkan bahwa kemakmuran suatu negara bukan sekadar ditentukan oleh faktor geografis, budaya, atau sumber daya alam; namun lebih oleh institusi, yang dalam hal ini berarti aturan, kebijakan, dan struktur sosial. Institusi ini memainkan peran kunci dalam mendorong atau menghambat kemajuan ekonomi. Paran pengembang teori ini membagi institusi atas institusi inklusif dan institusi ekstraktif.

Institusi inklusif adalah institusi yang memungkinkan partisipasi luas dari masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Dengan adanya perlindungan terhadap hak kepemilikan, jaminan kesetaraan peluang, dan dorongan terhadap inovasi, institusi inklusif memungkinkan banyak orang untuk ikut serta dalam pembangunan ekonomi. Sebaliknya, institusi ekstraktif berfungsi dengan cara yang bertolak belakang. Kekuasaan dan kekayaan terkonsentrasi di tangan sekelompok kecil elit. Akibatnya, sebagian besar masyarakat terpinggirkan dari akses ekonomi, dan inovasi menjadi terhambat. Negara-negara dengan institusi ekstraktif cenderung terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Salah satu elemen menarik dari teori ini adalah konsep critical junctures atau persimpangan kritis. Ini adalah momen-momen penting dalam sejarah suatu bangsa—seperti revolusi, perang, atau penjajahan—yang bisa mengubah arah jalur institusional mereka. Pada saat-saat inilah masyarakat bisa memilih untuk membangun institusi yang lebih inklusif atau malah memperkuat institusi yang ekstraktif. Contoh klasik yang sering diangkat adalah perbedaan nasib antara Amerika Utara dan Amerika Latin setelah kedatangan penjajah Eropa. Amerika Utara, dengan iklim dan kondisi lingkungan yang cocok untuk pemukiman, cenderung mengembangkan institusi yang melibatkan masyarakat secara luas. Sebaliknya, Amerika Latin, dengan sumber daya alam yang berlimpah, justru menarik para penjajah untuk membangun sistem berbasis eksploitasi sumber daya. Dampaknya, Amerika Utara berkembang menjadi wilayah yang lebih makmur dan stabil secara politik, sementara Amerika Latin terus bergulat dengan ketimpangan sosial dan ekonomi.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah konsep sentralisasi kekuasaan politik. Institusi yang baik butuh dukungan dari kekuasaan politik yang kuat dan terpusat. Mengapa? Karena tanpa kekuasaan terpusat, aturan hukum sulit ditegakkan, dan konflik kepentingan menjadi lebih sering terjadi. Namun, sentralisasi ini harus disertai dengan akuntabilitas. Tanpa akuntabilitas, kekuasaan politik yang kuat bisa berubah menjadi sistem yang opresif dan ekstraktif. Bayangkan negara-negara otoriter di mana penguasa mengontrol segalanya tanpa pengawasan—sistem semacam ini cenderung membangun institusi ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Selain itu, ada fenomena yang disebut pergeseran institusi; yaitu perubahan kecil yang terjadi secara bertahap dalam jangka panjang. Pergeseran ini bisa memperkuat sistem inklusif atau, sebaliknya, justru membuat institusi yang tadinya inklusif menjadi ekstraktif. Misalnya, reformasi hukum kecil-kecilan atau perubahan kebijakan tertentu mungkin terlihat sepele, tapi jika dilakukan secara terus-menerus, dampaknya bisa besar dalam jangka panjang. Inilah mengapa dinamika kekuasaan politik sangat penting. Elit yang diuntungkan dari sistem ekstraktif cenderung akan menolak perubahan, karena mereka tidak ingin kehilangan akses ke kekuasaan dan kekayaan.

Pendekatan mereka juga didukung oleh banyak bukti empiris. Salah satu penelitian mereka yang paling terkenal adalah tentang warisan kolonial. Dalam penelitian tersebut, mereka menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang di masa lalu membangun institusi ekstraktif selama era kolonial, seperti kebun-kebun besar di Afrika atau Amerika Latin, saat ini masih mengalami masalah kemiskinan dan ketidaksetaraan yang tinggi. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang membentuk institusi inklusif, seperti Amerika Utara, saat ini cenderung lebih stabil secara politik dan lebih makmur secara ekonomi. Peristiwa penting lain yang sering mereka soroti adalah Revolusi Agung (Glorious Revolution) di Inggris, di mana sistem monarki absolut diubah menjadi sistem monarki konstitusional yang lebih inklusif, sehingga memungkinkan lahirnya lembaga-lembaga ekonomi modern yang lebih terbuka dan partisipatif.

Lalu, bagaimana teori ini relevan untuk manajemen strategis? Dalam dunia bisnis, perusahaan tidak bisa lepas dari pengaruh institusi di negara tempat mereka beroperasi. Jika suatu negara memiliki institusi inklusif, maka bisnis memiliki peluang lebih besar untuk berkembang. Sebaliknya, di negara-negara dengan institusi ekstraktif, perusahaan sering menghadapi risiko yang lebih besar, seperti korupsi, ketidakpastian hukum, dan pengambilan keputusan yang didominasi oleh elit tertentu. Teori ini juga memberikan wawasan bagi perusahaan multinasional yang ingin melakukan ekspansi global. Sebelum berinvestasi di negara tertentu, penting untuk menganalisis apakah institusi di negara tersebut bersifat inklusif atau ekstraktif. Perusahaan dapat menggunakan pemahaman ini untuk memetakan risiko dan merancang strategi mitigasi yang lebih efektif.

Menariknya, perusahaan bukan hanya aktor pasif dalam ekosistem institusional. Dalam beberapa kasus, perusahaan besar justru dapat memengaruhi bentuk institusi di suatu negara. Perusahaan yang kuat secara finansial dapat melobi perubahan kebijakan atau memperkuat status quo. Kadang-kadang, perusahaan membantu memperkuat sistem ekstraktif dengan mendukung regulasi yang menguntungkan mereka, tetapi di sisi lain, perusahaan juga dapat mendorong reformasi yang lebih inklusif, misalnya dengan mengadvokasi transparansi dan keadilan dalam peraturan pasar.

Sumber:
Acemoglu D, Johnson S, Robinson J, 2004. Institutions as the Fundamental Cause of Long-Run Growth, NBER Working Paper Series, National Bureau of Economic Research. URL: http://www.nber.org/papers/w10481

Ekonomi Kompleksitas

Arthur WB (2021) menulis paper yang membandingkan ekonomi konvensional (neoklasik) dengan ekonomi kompleksitas.

Ekonomi neoklasik konvensional didasarkan pada beberapa asumsi inti:

  1. Rasionalitas sempurna: Diasumsikan bahwa agen-agen ekonomi memecahkan masalah yang terdefinisi dengan baik menggunakan logika rasional sempurna untuk mengoptimalkan perilaku mereka.
  2. Agen representatif: Biasanya diasumsikan bahwa agen-agen ini serupa satu sama lain — mereka bersifat “representatif” — dan dapat dikategorikan ke dalam satu, sedikit, atau sejumlah kecil tipe yang mewakili.
  3. Pengetahuan bersama: Diasumsikan bahwa semua agen memiliki pengetahuan yang sama tentang tipe agen lain, bahwa agen lain juga sepenuhnya rasional, dan mereka berbagi pengetahuan umum ini.
  4. Keseimbangan: Diasumsikan bahwa hasil agregat konsisten dengan perilaku agen, sehingga tidak ada insentif bagi agen untuk mengubah tindakan mereka.

Namun, dalam 120 tahun terakhir, ekonom seperti Thorstein Veblen, Joseph Schumpeter, Friedrich Hayek, dan Joan Robinson menentang kerangka keseimbangan ini dengan alasan masing-masing. Mereka berpendapat bahwa diperlukan pendekatan ekonomi yang berbeda.

Pada tahun 1987, Santa Fe Institute mengadakan konferensi yang mengundang sepuluh teoretisi ekonomi dan sepuluh teoretisi fisika untuk mengeksplorasi ekonomi sebagai sistem kompleks yang terus berkembang.

Ekonomi kompleksitas melihat ekonomi bukan sebagai sistem yang selalu dalam keadaan seimbang, tetapi sebagai sistem yang terus berubah. Keputusan yang diambil oleh para pelaku ekonomi (atau agen) tidak diasumsikan superrasional, dan masalah yang mereka hadapi tidak selalu terdefinisi dengan baik. Ekonomi tidak lagi dipandang sebagai “mesin yang bekerja sempurna,” melainkan sebagai “ekologi” yang selalu berubah — berisi kepercayaan, prinsip pengorganisasian, dan perilaku yang terus berkembang.

Ekonomi kompleksitas menganggap bahwa setiap pelaku ekonomi berbeda satu sama lain, memiliki informasi yang tidak sempurna tentang agen lain, dan terus mencoba memahami situasi yang mereka hadapi. Agen-agen ini mengeksplorasi, bereaksi, dan terus-menerus mengubah tindakan dan strategi mereka berdasarkan hasil yang mereka ciptakan bersama. Hasil akhirnya mungkin tidak dalam keadaan keseimbangan dan dapat menunjukkan pola serta fenomena baru yang tidak terlihat dalam analisis keseimbangan. Ekonomi menjadi sesuatu yang tidak tetap dan ada begitu saja, tetapi terus berkembang melalui kumpulan tindakan, strategi, dan keyakinan yang sedang berkembang. Ekonomi tidak lagi mekanistik, statis, abadi, dan sempurna, melainkan organik, hidup, selalu menciptakan dirinya sendiri, dan penuh dengan dinamika yang rumit.

Perbandingannya dipaparkan dalam tabel berikut:

Dalam sistem kompleks, tindakan yang diambil oleh seorang agen disalurkan melalui jaringan koneksi. Dalam ekonomi, jaringan ini dapat terbentuk melalui perdagangan, transmisi informasi, pengaruh sosial, atau aktivitas pinjam-meminjam. Ada beberapa aspek menarik dari jaringan ini:

  1. Struktur interaksi atau topologi jaringan memengaruhi stabilitas.
  2. Jaringan memungkinkan pasar untuk mengatur diri mereka sendiri.
  3. Risiko dapat ditransmisikan melalui jaringan, peristiwa dapat menyebar, dan struktur kekuasaan dapat terbentuk.

Topologi jaringan sangat penting untuk menentukan apakah konektivitas meningkatkan stabilitas atau justru sebaliknya. Kerapatan koneksi juga memainkan peran penting. Jika sebuah peristiwa terjadi di jaringan yang jarang terhubung, dampaknya akan segera berhenti karena tidak ada jalur untuk penyebaran lebih lanjut. Namun, di jaringan yang sangat terhubung, peristiwa tersebut akan menyebar luas dan terus meluas dalam waktu yang lama. Jika jaringan perlahan-lahan meningkatkan tingkat konektivitasnya, sistem akan berubah dari memiliki sedikit dampak (atau tanpa dampak) menjadi dampak besar, bahkan menghasilkan konsekuensi yang tidak berakhir. Hal ini dikenal sebagai perubahan fase, salah satu ciri khas dari ekonomi kompleksitas.

Ekonomi kompleksitas, dengan fokusnya pada dinamika jaringan dan evolusi sistem, menawarkan cara baru untuk memahami perilaku ekonomi di dunia yang penuh ketidakpastian dan perubahan yang cepat.

Referensi:

Quantum Methods in Researches

After attending a meeting with Pelindo yesterday, I attended a seminar hosted by FEB UI as part of a series themed “Conducting Impactful Business Research on an International Scale: Recent Trends, Methods, and Challenges.” Today’s session featured Agung Trisetyarso and Fithra Faisal Hariadi discussing “Research Methods: Quantum Approach to Coopetition Analysis and Disruptive Innovation.” This emerging approach leverages quantum states and mathematical formalisms like Dirac notation to model complex systems in social and economic research. By addressing uncertainty, interdependence, and multidimensional data, it opens pathways to innovative analyses of decision-making, preference patterns, and network dynamics.

Quantum methods uniquely represent probabilities through superposition (coexistence of multiple states) and entanglement (interdependencies between variables). In economics, they can model ambiguous preferences and market uncertainties, while in social sciences, they tackle paradoxical decision-making scenarios where traditional logic falls short. Additionally, entanglement provides insights into deep interdependencies, such as the impact of social ties or market ecosystems. The high-dimensional nature of quantum states allows for representing multifaceted variables, such as consumer preferences, and modeling dynamic changes over time—useful for exploring cultural shifts, policy impacts, or market evolution.

I found the discussion particularly compelling regarding its application to handling volatilities and uncertainties in economic systems and complexity-based strategies. The ability to accommodate multiple states and interdependent variables makes this approach well-suited to ecosystem-based strategies, addressing ambiguous preferences and paradoxical decision-making. I plan to delve deeper into these methods to explore their potential in advancing strategic insights.

Modularitas dan Tata Kelola Ekosistem

Paper dari Jacobides, Cennamo, dan Gawer (2018) memaparkan lebih lanjut
peran penting modularitas dalam ekosistem. Sebagai implikasinya, diperlukan tata kelola yang seimbang untuk memastikan ekosistem tetap sehat dan berkembang, sehingga dapat mendukung keberlangsungan bisnis dari entitas-entitas di dalamnya.

Koordinasi Ekosistem

Modularitas merupakan elemen krusial dalam mendukung pertumbuhan ekosistem. Modularitas bukanlah faktor eksternal (eksogen), melainkan hasil dari peran aktif pemegang platform dalam membentuk struktur dan hubungan antar entitas di dalam ekosistem. Saat modularitas disusun, ekosistem dapat terbentuk meskipun awalnya tidak dirancang secara eksplisit, seperti yang terjadi pada ekosistem aplikasi iPhone versi awal. Meskipun awalnya dirancang sebagai sistem tertutup (walled garden), ekosistem iPhone berkembang dengan masuknya aplikasi pihak ketiga tanpa otorisasi formal, menciptakan ekosistem yang lahir secara tidak sengaja (accidental ecosystem).

Kolaborasi Ekosistem

Dinamika kolaborasi dalam ekosistem sangat bergantung pada jenis komplementor yang terlibat, yang menghasilkan variasi dalam perilaku dan struktur pengelolaan. Pola perilaku di sektor yang lebih baru cenderung berbeda dibandingkan dengan sektor yang sudah mapan. Semakin dinamis interaksi dalam ekosistem, semakin besar potensi keberhasilan dalam mengenali peluang dan mengadopsi pendekatan yang tepat untuk keberlangsungan ekosistem. Dalam konteks persaingan, kemudahan dalam mengakses aset serta relasi antar komponen menjadi penentu utama dalam menarik aktor baru atau mendorong perpindahan aktor antar ekosistem. Mekanisme ini memperkuat dinamika lintas ekosistem yang dapat memengaruhi kesuksesan kolaborasi.

Penciptaan Nilai

Penciptaan nilai dalam ekosistem dapat dianalisis melalui interaksi antara berbagai komplementor yang terlibat. Interaksi ini tidak hanya memberikan nilai tambah bagi pelanggan, tetapi juga menciptakan tantangan untuk mempertahankan anggota ekosistem, terutama jika ada kompetitor yang menawarkan daya tarik lebih besar. Semakin modular sebuah ekosistem, semakin besar upaya yang harus dilakukan oleh pusat ekosistem untuk menarik anggota baru. Namun, ketika ekosistem mencapai dominasi tertentu, proses penambahan anggota akan terjadi secara alami tanpa banyak intervensi.

Tata Kelola Ekosistem

Tata kelola dalam ekosistem bergantung pada aturan yang mengatur keterlibatan aktor dalam ekosistem, baik dalam bentuk aturan tertulis maupun aturan informal yang diakui secara de facto. Sifat dari antarmuka dan standar dalam ekosistem juga menentukan sejauh mana aktor dapat berpartisipasi secara efektif. Beberapa ekosistem memiliki tata kelola yang ketat dan didokumentasikan, sementara yang lain lebih bergantung pada aturan yang tidak terformalisasi namun tetap diakui oleh para aktor dalam ekosistem tersebut. Keberhasilan tata kelola ini sangat penting untuk memastikan keseimbangan antara inovasi, kolaborasi, dan persaingan dalam ekosistem.

Non-Accumulative Adaptability

Exploring the ideas about adaptation and emergence as a part of ecosystem (i.e. complex adaptive system — CAS) development, I think it is more exciting when we see it through the combined lenses of CAS, Schumpeter, Kuhn, Foucault, and Lyotard. Each of these perspectives explores how change does not just happen bit by bit, but instead in bold and disruptive leaps, as transformations that completely alter the playing field, whether we’re talking about economies, sciences, societies, or even our basic understanding of the world.

CAS implies that change is a matter of adaptive cycles — cycles of growth, accumulation, collapse, and renewal. An ecosystem could grow, accumulates the resources until hitting a limit. Then its whole structure becomes unsustainable, collapses, and reboots in a new way — it reorganises itself with fresh relationships and opportunities. This cycle is anything but smooth; it’s like a forest fire clearing the way for new growth, and it’s essential for resilience and long-term adaptability. This model resonates closely with Schumpeter’s idea of creative destruction in economies. Schumpeter saw capitalism as a system where innovation doesn’t build up neatly on top of the old but bulldozes it — new technologies, businesses, and products disrupt markets, toppling established companies and paving the way for the next wave of growth. For Schumpeter, entrepreneurs drive this cycle, constantly reinventing the economy and shifting the landscape in unexpected ways.

Thomas Kuhn brought a similar idea into science with his concept of paradigm shifts. In Kuhn’s view, science isn’t a smooth, cumulative process of adding one discovery to the next. Instead, it moves forward in fits and starts. Scientists work within a “paradigm” — a shared framework for understanding the world — until enough anomalies build up that the whole system starts to feel shaky. At that point, someone comes along with a radically new idea that doesn’t just tweak the existing framework but replaces it. Kuhn’s paradigm shift is a profound reimagining of the rules, kind of like Schumpeter’s creative destruction but applied to the way we think and know. It’s as if science periodically wipes the slate clean and rebuilds itself from a fresh perspective.

As a Gen-X, I must also mention Michel Foucault. Foucault offered a more historical spin on these ideas with his concept of epistemes. Foucault believed that every era has its own underlying structure of knowledge, shaping how people perceive and think about the world. These epistemes don’t evolve smoothly; they’re punctuated by abrupt shifts where the entire basis of understanding changes. Just like in a Kuhnian paradigm shift, when a new episteme takes over, it fundamentally changes what questions are even worth asking, as well as who holds power in the discourse. In Foucault’s view, knowledge isn’t just a collection of facts piling up—it’s tied to shifts in power and perspective, with each era replacing the last in a way that’s not fully compatible with what came before.

Then there’s Jean-François Lyotard, who takes the idea a step further by challenging the very idea of cumulative “progress” altogether. As a postmodernist, Lyotard argued that the grand narratives that used to make sense of history, science, and knowledge are breaking down. Instead of one single, upward trajectory, we’re left with multiple, fragmented stories that don’t fit neatly together. Knowledge, for Lyotard, is no longer a matter of moving toward some ultimate truth but an evolving patchwork of perspectives. This rejection of a single narrative echoes Schumpeter’s and Kuhn’s visions of disruption and replacement over seamless continuity. Lyotard’s work suggests that, in knowledge and culture alike, stability is always provisional, subject to the next seismic shift in understanding.

Let’s imagine they can talk together

So when we look at all these thinkers together, a fascinating picture emerges. In CAS, Schumpeter’s economics, Kuhn’s science, Foucault’s history, and Lyotard’s philosophy, progress is not about slowly stacking up ideas or wealth. Instead, it’s about cycles of buildup, breakdown, and renewal — each shift leaving behind remnants of the old and bringing forth something fundamentally new. This kind of progress isn’t just unpredictable; it’s fueled by disruption, tension, and revolution. These thinkers collectively remind us that the most transformative changes come from breaking with the past, not from adding to it. Progress, in this view, is a story of radical leaps, creative destruction, paradigm shifts, and fresh starts—where each new phase is a bold departure from what came before.

Storytelling

Penceritaan, narasi, atau storytelling merupakan cara alami dan mendasar untuk memahami dan menjelaskan dunia. Sebagai model acuan mental, cerita membentuk struktur dasar bagaimana manusia menyusun, mengaitkan, dan mengingat informasi. Dalam setiap cerita, terdapat alur, tokoh, dan konteks yang memberikan kerangka terstruktur, memungkinkan otak manusia mengolah informasi kompleks menjadi pola yang lebih mudah dipahami. Cerita mampu mentransformasikan ide-ide abstrak menjadi sesuatu yang konkret, menciptakan hubungan emosional dan kognitif antara pendengar atau pembaca dengan gagasan yang disampaikan.

Dalam masyarakat, cerita berfungsi sebagai media utama untuk menyampaikan wawasan budaya, tradisi, dan nilai-nilai. Sebagai sarana kolektif, cerita membantu menjaga kesinambungan identitas budaya, mengajarkan norma-norma sosial, dan memperkuat rasa kebersamaan. Wawasan budaya yang tersampaikan melalui cerita tidak hanya memperkaya pemahaman individu tetapi juga memperkuat ikatan dalam komunitas, menciptakan kesadaran kolektif yang lebih mendalam.

Di tingkat personal, cerita memiliki hubungan langsung dengan model mental seseorang. Manusia lebih mudah mengingat dan memahami konsep ketika informasi disajikan dalam bentuk narasi yang terstruktur. Keterkaitan logis dan emosional dalam cerita memungkinkan individu memproses kondisi rumit dengan lebih baik. Ketika elemen-elemen cerita dipadukan dengan emosi, gambar mental, dan konteks relevan, ini membantu membentuk konsep yang lebih kokoh dalam memori jangka panjang.

Cerita dimanfaatkan secara luas dalam berbagai bidang untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam komunitas, cerita digunakan untuk menyebarkan pengetahuan secara efektif, baik dalam bentuk tradisional seperti folklore maupun melalui media modern. Di ranah intelektual, cerita menjadi alat untuk menghimpun dan melembagakan pengetahuan sebagai bagian dari intellectual capital (IC). Dengan menstrukturkan pengetahuan dalam bentuk narasi, cerita membantu organisasi atau komunitas menciptakan aset pengetahuan yang dapat diwariskan dan diakses lintas generasi. Dalam pendidikan, cerita memainkan peran penting dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran. Melalui cerita, siswa dapat lebih mudah memahami materi pelajaran, mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, dan membangun pemahaman yang lebih mendalam.

Menariknya, cerita tidak selalu harus diingat dalam detailnya. Dalam banyak kasus, elemen kunci dari cerita, yang terekam sebagai priming memory, dapat memicu akses ke memori sadar di saat-saat tertentu. Misalnya, sebuah cerita tentang keberanian dapat memunculkan pola pemikiran atau tindakan tertentu saat seseorang menghadapi situasi sulit. Dengan demikian, cerita tidak hanya berfungsi sebagai media pengajaran tetapi juga sebagai pemandu bawah sadar yang membentuk cara seseorang bertindak dan bereaksi dalam kehidupan sehari-hari.


Beberapa buku yang menggunakan pendekatan storytelling untuk menyampaikan wawasan mendalam antara lain:

Bahkan, kitab suci tidak disusun dalam bentuk pasal-pasal, melainkan melalui rangkaian cerita yang sarat makna, yang mampu memotivasi dan membimbing manusia. Perubahan dalam masyarakat lebih mungkin terjadi melalui wacana yang disampaikan dalam bentuk cerita, narasi historis, dan simbol-simbol, daripada melalui proposisi logis semata.