This week, I had the chance to attend a workshop in Bandung, part of the Entrepreneur Hub (EHUB) program organized by the Ministry MSME (KemenUMKM). The event, focusing on sociopreneurship, was opened by Siti Azizah, Deputy for Entrepreneurship, and Irwansyah Putra Panjaitan, Assistant Deputy for Business Ecosystem Development. The audience included social entrepreneurs, SMEs, and representatives from the West Java provincial government. It was an engaging session that shed light on how sociopreneurship is shaping the MSME economy.
Sociopreneurship is all about blending business strategies with a commitment to solving social problems. What makes it unique is that its performance is measured by the impact it creates on Sustainable Development Goals (SDGs). Whether it’s tackling poverty, promoting education, or addressing environmental issues, sociopreneurship drives real-world solutions while building sustainable businesses.
On the regulatory side, the Indonesian government plays a vital role in creating policies that support the growth of these ventures, ensuring they thrive within a robust MSME ecosystem. Ultimately, sociopreneurship is a catalyst for economic and social empowerment, creating a ripple effect of positive change in communities.
Hadiah Nobel Ekonomi dianugerahkan tahun 2024 ini pada Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson, sebagai pengakuan atas Teori Institusi yang mereka kembangkan. Anugerah ini diumumkan 9 Oktober 2024, dengan tambahan bahwa teori mereka memberikan wawasan tentang penyebab kemiskinan atau kekayaan berbagai negara, lengkap dengan panduan bagi kebijakan pembangunan dan reformasi institusi.
Teori Institusi mengungkapkan bahwa kemakmuran suatu negara bukan sekadar ditentukan oleh faktor geografis, budaya, atau sumber daya alam; namun lebih oleh institusi, yang dalam hal ini berarti aturan, kebijakan, dan struktur sosial. Institusi ini memainkan peran kunci dalam mendorong atau menghambat kemajuan ekonomi. Paran pengembang teori ini membagi institusi atas institusi inklusif dan institusi ekstraktif.
Institusi inklusif adalah institusi yang memungkinkan partisipasi luas dari masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Dengan adanya perlindungan terhadap hak kepemilikan, jaminan kesetaraan peluang, dan dorongan terhadap inovasi, institusi inklusif memungkinkan banyak orang untuk ikut serta dalam pembangunan ekonomi. Sebaliknya, institusi ekstraktif berfungsi dengan cara yang bertolak belakang. Kekuasaan dan kekayaan terkonsentrasi di tangan sekelompok kecil elit. Akibatnya, sebagian besar masyarakat terpinggirkan dari akses ekonomi, dan inovasi menjadi terhambat. Negara-negara dengan institusi ekstraktif cenderung terperangkap dalam lingkaran kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Salah satu elemen menarik dari teori ini adalah konsep critical junctures atau persimpangan kritis. Ini adalah momen-momen penting dalam sejarah suatu bangsa—seperti revolusi, perang, atau penjajahan—yang bisa mengubah arah jalur institusional mereka. Pada saat-saat inilah masyarakat bisa memilih untuk membangun institusi yang lebih inklusif atau malah memperkuat institusi yang ekstraktif. Contoh klasik yang sering diangkat adalah perbedaan nasib antara Amerika Utara dan Amerika Latin setelah kedatangan penjajah Eropa. Amerika Utara, dengan iklim dan kondisi lingkungan yang cocok untuk pemukiman, cenderung mengembangkan institusi yang melibatkan masyarakat secara luas. Sebaliknya, Amerika Latin, dengan sumber daya alam yang berlimpah, justru menarik para penjajah untuk membangun sistem berbasis eksploitasi sumber daya. Dampaknya, Amerika Utara berkembang menjadi wilayah yang lebih makmur dan stabil secara politik, sementara Amerika Latin terus bergulat dengan ketimpangan sosial dan ekonomi.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah konsep sentralisasi kekuasaan politik. Institusi yang baik butuh dukungan dari kekuasaan politik yang kuat dan terpusat. Mengapa? Karena tanpa kekuasaan terpusat, aturan hukum sulit ditegakkan, dan konflik kepentingan menjadi lebih sering terjadi. Namun, sentralisasi ini harus disertai dengan akuntabilitas. Tanpa akuntabilitas, kekuasaan politik yang kuat bisa berubah menjadi sistem yang opresif dan ekstraktif. Bayangkan negara-negara otoriter di mana penguasa mengontrol segalanya tanpa pengawasan—sistem semacam ini cenderung membangun institusi ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Selain itu, ada fenomena yang disebut pergeseran institusi; yaitu perubahan kecil yang terjadi secara bertahap dalam jangka panjang. Pergeseran ini bisa memperkuat sistem inklusif atau, sebaliknya, justru membuat institusi yang tadinya inklusif menjadi ekstraktif. Misalnya, reformasi hukum kecil-kecilan atau perubahan kebijakan tertentu mungkin terlihat sepele, tapi jika dilakukan secara terus-menerus, dampaknya bisa besar dalam jangka panjang. Inilah mengapa dinamika kekuasaan politik sangat penting. Elit yang diuntungkan dari sistem ekstraktif cenderung akan menolak perubahan, karena mereka tidak ingin kehilangan akses ke kekuasaan dan kekayaan.
Pendekatan mereka juga didukung oleh banyak bukti empiris. Salah satu penelitian mereka yang paling terkenal adalah tentang warisan kolonial. Dalam penelitian tersebut, mereka menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang di masa lalu membangun institusi ekstraktif selama era kolonial, seperti kebun-kebun besar di Afrika atau Amerika Latin, saat ini masih mengalami masalah kemiskinan dan ketidaksetaraan yang tinggi. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang membentuk institusi inklusif, seperti Amerika Utara, saat ini cenderung lebih stabil secara politik dan lebih makmur secara ekonomi. Peristiwa penting lain yang sering mereka soroti adalah Revolusi Agung (Glorious Revolution) di Inggris, di mana sistem monarki absolut diubah menjadi sistem monarki konstitusional yang lebih inklusif, sehingga memungkinkan lahirnya lembaga-lembaga ekonomi modern yang lebih terbuka dan partisipatif.
Lalu, bagaimana teori ini relevan untuk manajemen strategis? Dalam dunia bisnis, perusahaan tidak bisa lepas dari pengaruh institusi di negara tempat mereka beroperasi. Jika suatu negara memiliki institusi inklusif, maka bisnis memiliki peluang lebih besar untuk berkembang. Sebaliknya, di negara-negara dengan institusi ekstraktif, perusahaan sering menghadapi risiko yang lebih besar, seperti korupsi, ketidakpastian hukum, dan pengambilan keputusan yang didominasi oleh elit tertentu. Teori ini juga memberikan wawasan bagi perusahaan multinasional yang ingin melakukan ekspansi global. Sebelum berinvestasi di negara tertentu, penting untuk menganalisis apakah institusi di negara tersebut bersifat inklusif atau ekstraktif. Perusahaan dapat menggunakan pemahaman ini untuk memetakan risiko dan merancang strategi mitigasi yang lebih efektif.
Menariknya, perusahaan bukan hanya aktor pasif dalam ekosistem institusional. Dalam beberapa kasus, perusahaan besar justru dapat memengaruhi bentuk institusi di suatu negara. Perusahaan yang kuat secara finansial dapat melobi perubahan kebijakan atau memperkuat status quo. Kadang-kadang, perusahaan membantu memperkuat sistem ekstraktif dengan mendukung regulasi yang menguntungkan mereka, tetapi di sisi lain, perusahaan juga dapat mendorong reformasi yang lebih inklusif, misalnya dengan mengadvokasi transparansi dan keadilan dalam peraturan pasar.
Sumber: Acemoglu D, Johnson S, Robinson J, 2004. Institutions as the Fundamental Cause of Long-Run Growth, NBER Working Paper Series, National Bureau of Economic Research. URL: http://www.nber.org/papers/w10481
Arthur WB (2021) menulis paper yang membandingkan ekonomi konvensional (neoklasik) dengan ekonomi kompleksitas.
Ekonomi neoklasik konvensional didasarkan pada beberapa asumsi inti:
Rasionalitas sempurna: Diasumsikan bahwa agen-agen ekonomi memecahkan masalah yang terdefinisi dengan baik menggunakan logika rasional sempurna untuk mengoptimalkan perilaku mereka.
Agen representatif: Biasanya diasumsikan bahwa agen-agen ini serupa satu sama lain — mereka bersifat “representatif” — dan dapat dikategorikan ke dalam satu, sedikit, atau sejumlah kecil tipe yang mewakili.
Pengetahuan bersama: Diasumsikan bahwa semua agen memiliki pengetahuan yang sama tentang tipe agen lain, bahwa agen lain juga sepenuhnya rasional, dan mereka berbagi pengetahuan umum ini.
Keseimbangan: Diasumsikan bahwa hasil agregat konsisten dengan perilaku agen, sehingga tidak ada insentif bagi agen untuk mengubah tindakan mereka.
Namun, dalam 120 tahun terakhir, ekonom seperti Thorstein Veblen, Joseph Schumpeter, Friedrich Hayek, dan Joan Robinson menentang kerangka keseimbangan ini dengan alasan masing-masing. Mereka berpendapat bahwa diperlukan pendekatan ekonomi yang berbeda.
Pada tahun 1987, Santa Fe Institute mengadakan konferensi yang mengundang sepuluh teoretisi ekonomi dan sepuluh teoretisi fisika untuk mengeksplorasi ekonomi sebagai sistem kompleks yang terus berkembang.
Ekonomi kompleksitas melihat ekonomi bukan sebagai sistem yang selalu dalam keadaan seimbang, tetapi sebagai sistem yang terus berubah. Keputusan yang diambil oleh para pelaku ekonomi (atau agen) tidak diasumsikan superrasional, dan masalah yang mereka hadapi tidak selalu terdefinisi dengan baik. Ekonomi tidak lagi dipandang sebagai “mesin yang bekerja sempurna,” melainkan sebagai “ekologi” yang selalu berubah — berisi kepercayaan, prinsip pengorganisasian, dan perilaku yang terus berkembang.
Ekonomi kompleksitas menganggap bahwa setiap pelaku ekonomi berbeda satu sama lain, memiliki informasi yang tidak sempurna tentang agen lain, dan terus mencoba memahami situasi yang mereka hadapi. Agen-agen ini mengeksplorasi, bereaksi, dan terus-menerus mengubah tindakan dan strategi mereka berdasarkan hasil yang mereka ciptakan bersama. Hasil akhirnya mungkin tidak dalam keadaan keseimbangan dan dapat menunjukkan pola serta fenomena baru yang tidak terlihat dalam analisis keseimbangan. Ekonomi menjadi sesuatu yang tidak tetap dan ada begitu saja, tetapi terus berkembang melalui kumpulan tindakan, strategi, dan keyakinan yang sedang berkembang. Ekonomi tidak lagi mekanistik, statis, abadi, dan sempurna, melainkan organik, hidup, selalu menciptakan dirinya sendiri, dan penuh dengan dinamika yang rumit.
Perbandingannya dipaparkan dalam tabel berikut:
Dalam sistem kompleks, tindakan yang diambil oleh seorang agen disalurkan melalui jaringan koneksi. Dalam ekonomi, jaringan ini dapat terbentuk melalui perdagangan, transmisi informasi, pengaruh sosial, atau aktivitas pinjam-meminjam. Ada beberapa aspek menarik dari jaringan ini:
Struktur interaksi atau topologi jaringan memengaruhi stabilitas.
Jaringan memungkinkan pasar untuk mengatur diri mereka sendiri.
Risiko dapat ditransmisikan melalui jaringan, peristiwa dapat menyebar, dan struktur kekuasaan dapat terbentuk.
Topologi jaringan sangat penting untuk menentukan apakah konektivitas meningkatkan stabilitas atau justru sebaliknya. Kerapatan koneksi juga memainkan peran penting. Jika sebuah peristiwa terjadi di jaringan yang jarang terhubung, dampaknya akan segera berhenti karena tidak ada jalur untuk penyebaran lebih lanjut. Namun, di jaringan yang sangat terhubung, peristiwa tersebut akan menyebar luas dan terus meluas dalam waktu yang lama. Jika jaringan perlahan-lahan meningkatkan tingkat konektivitasnya, sistem akan berubah dari memiliki sedikit dampak (atau tanpa dampak) menjadi dampak besar, bahkan menghasilkan konsekuensi yang tidak berakhir. Hal ini dikenal sebagai perubahan fase, salah satu ciri khas dari ekonomi kompleksitas.
Ekonomi kompleksitas, dengan fokusnya pada dinamika jaringan dan evolusi sistem, menawarkan cara baru untuk memahami perilaku ekonomi di dunia yang penuh ketidakpastian dan perubahan yang cepat.
Paper dari Jacobides, Cennamo, dan Gawer (2018) memaparkan lebih lanjut peran penting modularitas dalam ekosistem. Sebagai implikasinya, diperlukan tata kelola yang seimbang untuk memastikan ekosistem tetap sehat dan berkembang, sehingga dapat mendukung keberlangsungan bisnis dari entitas-entitas di dalamnya.
Koordinasi Ekosistem
Modularitas merupakan elemen krusial dalam mendukung pertumbuhan ekosistem. Modularitas bukanlah faktor eksternal (eksogen), melainkan hasil dari peran aktif pemegang platform dalam membentuk struktur dan hubungan antar entitas di dalam ekosistem. Saat modularitas disusun, ekosistem dapat terbentuk meskipun awalnya tidak dirancang secara eksplisit, seperti yang terjadi pada ekosistem aplikasi iPhone versi awal. Meskipun awalnya dirancang sebagai sistem tertutup (walled garden), ekosistem iPhone berkembang dengan masuknya aplikasi pihak ketiga tanpa otorisasi formal, menciptakan ekosistem yang lahir secara tidak sengaja (accidental ecosystem).
Kolaborasi Ekosistem
Dinamika kolaborasi dalam ekosistem sangat bergantung pada jenis komplementor yang terlibat, yang menghasilkan variasi dalam perilaku dan struktur pengelolaan. Pola perilaku di sektor yang lebih baru cenderung berbeda dibandingkan dengan sektor yang sudah mapan. Semakin dinamis interaksi dalam ekosistem, semakin besar potensi keberhasilan dalam mengenali peluang dan mengadopsi pendekatan yang tepat untuk keberlangsungan ekosistem. Dalam konteks persaingan, kemudahan dalam mengakses aset serta relasi antar komponen menjadi penentu utama dalam menarik aktor baru atau mendorong perpindahan aktor antar ekosistem. Mekanisme ini memperkuat dinamika lintas ekosistem yang dapat memengaruhi kesuksesan kolaborasi.
Penciptaan Nilai
Penciptaan nilai dalam ekosistem dapat dianalisis melalui interaksi antara berbagai komplementor yang terlibat. Interaksi ini tidak hanya memberikan nilai tambah bagi pelanggan, tetapi juga menciptakan tantangan untuk mempertahankan anggota ekosistem, terutama jika ada kompetitor yang menawarkan daya tarik lebih besar. Semakin modular sebuah ekosistem, semakin besar upaya yang harus dilakukan oleh pusat ekosistem untuk menarik anggota baru. Namun, ketika ekosistem mencapai dominasi tertentu, proses penambahan anggota akan terjadi secara alami tanpa banyak intervensi.
Tata Kelola Ekosistem
Tata kelola dalam ekosistem bergantung pada aturan yang mengatur keterlibatan aktor dalam ekosistem, baik dalam bentuk aturan tertulis maupun aturan informal yang diakui secara de facto. Sifat dari antarmuka dan standar dalam ekosistem juga menentukan sejauh mana aktor dapat berpartisipasi secara efektif. Beberapa ekosistem memiliki tata kelola yang ketat dan didokumentasikan, sementara yang lain lebih bergantung pada aturan yang tidak terformalisasi namun tetap diakui oleh para aktor dalam ekosistem tersebut. Keberhasilan tata kelola ini sangat penting untuk memastikan keseimbangan antara inovasi, kolaborasi, dan persaingan dalam ekosistem.
In 1931, Pelikan adopted a technique of Damascus steel engraving into a design of its fountain pen. This method, brought to Spain by the Arabs and perfected in Tolédo, involves engraving patterns into steel or iron surfaces, overlaying them with a thin sheet of gold, and heating the object to oxidise the steel while leaving the gold to shine brilliantly. Today, Pelikan still uses this technique for two Souverän series: M700 and M900. The elegant M700 has arrived last week.
The M700 Tolédo features a decorative sleeve made from a single piece of 925 Sterling Silver, which is intricately hand-engraved and covered with a layer of gold. This results in a beautifully contrasting design that combines the dark oxidised silver with the luminous gold patterns. The cap, front piece, and end piece of the pen are crafted from high-quality black resin, adding to its overall elegance and durability.
Pelikan M700 Tolédo is similar in size to the Pelikan Souverän M400, with a length of approximately 12.5 cm when capped and 14.7 cm when posted. It has a comfortable weight of about 23 grams, making it well-balanced and easy to handle for prolonged writing sessions.
One of the most distinguished features of the M700 is its nib. The pen is equipped with an Au750 (18K gold) nib adorned with rhodium accents, available in various sizes. Mine has medium size. This bi-color nib not only enhances the pen’s aesthetic appeal but also ensures a smooth and pleasurable writing experience. The pen utilizes a high-capacity piston filling system, which is both efficient and easy to use.
Each M700 fountain pen is a unique piece, individually designed, hand-signed, and numbered. The intricate hand-engraving process means that no two pens are exactly alike. Due to the extensive manual labor involved, only a limited number of these pens —up to 200— can be produced each month. This exclusivity adds to the pen’s allure as a collector’s item and a piece of art.
The pen is presented in a luxurious silk-lined wooden gift box, adding to its prestige and making it an excellent choice for a cherished gift. This thoughtful presentation underscores Pelikan’s attention to detail and dedication to providing a premium product experience.
M700 is not just a writing instrument — it is a piece of history. The pen’s design has remained virtually unchanged since its introduction, preserving the heritage and craftsmanship of the Tolédo technique. This makes owning a Tolédo M700 akin to owning a small piece of art history.
Penceritaan, narasi, atau storytelling merupakan cara alami dan mendasar untuk memahami dan menjelaskan dunia. Sebagai model acuan mental, cerita membentuk struktur dasar bagaimana manusia menyusun, mengaitkan, dan mengingat informasi. Dalam setiap cerita, terdapat alur, tokoh, dan konteks yang memberikan kerangka terstruktur, memungkinkan otak manusia mengolah informasi kompleks menjadi pola yang lebih mudah dipahami. Cerita mampu mentransformasikan ide-ide abstrak menjadi sesuatu yang konkret, menciptakan hubungan emosional dan kognitif antara pendengar atau pembaca dengan gagasan yang disampaikan.
Dalam masyarakat, cerita berfungsi sebagai media utama untuk menyampaikan wawasan budaya, tradisi, dan nilai-nilai. Sebagai sarana kolektif, cerita membantu menjaga kesinambungan identitas budaya, mengajarkan norma-norma sosial, dan memperkuat rasa kebersamaan. Wawasan budaya yang tersampaikan melalui cerita tidak hanya memperkaya pemahaman individu tetapi juga memperkuat ikatan dalam komunitas, menciptakan kesadaran kolektif yang lebih mendalam.
Di tingkat personal, cerita memiliki hubungan langsung dengan model mental seseorang. Manusia lebih mudah mengingat dan memahami konsep ketika informasi disajikan dalam bentuk narasi yang terstruktur. Keterkaitan logis dan emosional dalam cerita memungkinkan individu memproses kondisi rumit dengan lebih baik. Ketika elemen-elemen cerita dipadukan dengan emosi, gambar mental, dan konteks relevan, ini membantu membentuk konsep yang lebih kokoh dalam memori jangka panjang.
Cerita dimanfaatkan secara luas dalam berbagai bidang untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam komunitas, cerita digunakan untuk menyebarkan pengetahuan secara efektif, baik dalam bentuk tradisional seperti folklore maupun melalui media modern. Di ranah intelektual, cerita menjadi alat untuk menghimpun dan melembagakan pengetahuan sebagai bagian dari intellectual capital (IC). Dengan menstrukturkan pengetahuan dalam bentuk narasi, cerita membantu organisasi atau komunitas menciptakan aset pengetahuan yang dapat diwariskan dan diakses lintas generasi. Dalam pendidikan, cerita memainkan peran penting dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran. Melalui cerita, siswa dapat lebih mudah memahami materi pelajaran, mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, dan membangun pemahaman yang lebih mendalam.
Menariknya, cerita tidak selalu harus diingat dalam detailnya. Dalam banyak kasus, elemen kunci dari cerita, yang terekam sebagai priming memory, dapat memicu akses ke memori sadar di saat-saat tertentu. Misalnya, sebuah cerita tentang keberanian dapat memunculkan pola pemikiran atau tindakan tertentu saat seseorang menghadapi situasi sulit. Dengan demikian, cerita tidak hanya berfungsi sebagai media pengajaran tetapi juga sebagai pemandu bawah sadar yang membentuk cara seseorang bertindak dan bereaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa buku yang menggunakan pendekatan storytelling untuk menyampaikan wawasan mendalam antara lain:
Kim juga memaparkan transformasi pada perusahaan di tengah disrupsi digital, terutama dengan memanfaatkan kekuatan pengelolaan data.
Bahkan, kitab suci tidak disusun dalam bentuk pasal-pasal, melainkan melalui rangkaian cerita yang sarat makna, yang mampu memotivasi dan membimbing manusia. Perubahan dalam masyarakat lebih mungkin terjadi melalui wacana yang disampaikan dalam bentuk cerita, narasi historis, dan simbol-simbol, daripada melalui proposisi logis semata.
IEEE Briefing was led by the IEEE President of 2024, Dr Tom Coughlin, while he paid a visit to Jakarta this week, accompanied by IEEE R10 Director Prof. Lance Fung, IEEE R10 Director-Elect Prof. Takako Hashimoto, IEEE R10 Women-in-Engineering Committee Chair Dr Agnes Irwanti, IEEE Malaysia Section Chair Dr Bernard Lim, and IEEE Indonesia Section Chair Prof. Gamantyo Hendrantoro. As part of the leadership activities, this IEEE briefing was held on the morning of May 14, followed by a talkshow broadcasted by TVRI.
Taqabbalallahu minna wa minkum, taqabbal yaa kariim. As the crescent heralds the arrival of Eid’l Fitr, may the day bring us the great victory in our endeavour, the triumph of our spiritual renewal, and deep contemplation and gratitudes. Eid Mubarak.
The University of Cambridge has a rich history that spans more than 800 years. Its origins can be traced back to 1209, when a group of scholars migrated to establish ofa new centre of learning in Cambridge. By 1231, the institution received a charter from King Henry III, which granted it significant privileges. This charter marked the beginning of the university’s official recognition and its rise as a prominent academic institution.
The university is organised into a series of colleges, with the first college, Peterhouse, founded by Hugh de Balsham in 1284. Each college is an independent institution with its own property and income, but all are part of the university, contributing to its rich academic and cultural environment.
The university played a significant role in the Renaissance and the Scientific Revolution. Notable alumni include Sir Isaac Newton, who developed the principles of modern physics in the 17th century while at Cambridge. In the 20th and 21st centuries, Cambridge continued to expand and evolve, becoming a globally recognised and respected institution for higher learning and research. It has maintained a strong emphasis on scientific research and innovation, contributing to technological advancements and the development of new fields of study. Today, this university consists of over 30 colleges and numerous academic departments, faculties, and schools. It continues to be a leading centre for education and research, attracting students and scholars from around the world. The university’s commitment to excellence in education, research, and contribution to society remains steadfast, ensuring its place among the top universities globally for years to come.
I have an Onoto fountain pen designed for the University of Cambridge. It is a Magna Black & Gold model with the logo of this university on its crown, and a Trinity College crest; with Au750 F-sized nib. It is my second Onoto after the one designed for Oxford University.
Onoto, a prestigious brand of fountain pens from the United Kingdom, has a rich history and a strong reputation for quality, innovation, and cultural significance. The brand’s journey began in the early 20th century, making it an integral part of the fountain pen industry’s history and development. Its history dates back to 1905 when the brand was established by Thomas De La Rue & Co. The first Onoto pen, the Onoto Patent Self-filling Pen, was launched in 1905 and quickly gained fame for its innovative plunger-filling system, which was a novelty at the time. This filling mechanism allowed for a more straightforward and cleaner way to refill the pen, setting Onoto pens apart from their competitors.
Onoto pens are renowned for their high quality, craftsmanship, and durability. The brand has consistently emphasized the production of pens that are not only functional but also beautiful, often using precious metals, high-quality resins, and intricate designs. Collectors and users of Onoto pens value them for their smooth writing experience, balance, and the tactile pleasure they provide. In the 21st century, Onoto has experienced a revival, appealing to both collectors of vintage pens and enthusiasts of luxury writing instruments. The brand continues to produce limited editions and bespoke pens, often commemorating significant historical and cultural events, further enhancing its cultural significance and appeal to connoisseurs of fine pens.
The University of Cambridge has a rich history that spans more than 800 years. Its origins can be traced back to 1209, when a group of scholars migrated to establish ofa new centre of learning in Cambridge. By 1231, the institution received a charter from King Henry III, which granted it significant privileges. This charter marked the beginning of the university’s official recognition and its rise as a prominent academic institution.
The university is organised into a series of colleges, with the first college, Peterhouse, founded by Hugh de Balsham in 1284. Each college is an independent institution with its own property and income, but all are part of the university, contributing to its rich academic and cultural environment.
The university played a significant role in the Renaissance and the Scientific Revolution. Notable alumni include Sir Isaac Newton, who developed the principles of modern physics in the 17th century while at Cambridge. In the 20th and 21st centuries, Cambridge continued to expand and evolve, becoming a globally recognised and respected institution for higher learning and research. It has maintained a strong emphasis on scientific research and innovation, contributing to technological advancements and the development of new fields of study. Today, this university consists of over 30 colleges and numerous academic departments, faculties, and schools. It continues to be a leading centre for education and research, attracting students and scholars from around the world. The university’s commitment to excellence in education, research, and contribution to society remains steadfast, ensuring its place among the top universities globally for years to come.
I have an Onoto fountain pen designed for the University of Cambridge. It is a Magna Black & Gold model with the logo of this university on its crown, and a Trinity College crest; with Au750 F-sized nib. It is my second Onoto after the one designed for Oxford University.
Onoto, a prestigious brand of fountain pens from the United Kingdom, has a rich history and a strong reputation for quality, innovation, and cultural significance. The brand’s journey began in the early 20th century, making it an integral part of the fountain pen industry’s history and development. Its history dates back to 1905 when the brand was established by Thomas De La Rue & Co. The first Onoto pen, the Onoto Patent Self-filling Pen, was launched in 1905 and quickly gained fame for its innovative plunger-filling system, which was a novelty at the time. This filling mechanism allowed for a more straightforward and cleaner way to refill the pen, setting Onoto pens apart from their competitors.
Onoto pens are renowned for their high quality, craftsmanship, and durability. The brand has consistently emphasized the production of pens that are not only functional but also beautiful, often using precious metals, high-quality resins, and intricate designs. Collectors and users of Onoto pens value them for their smooth writing experience, balance, and the tactile pleasure they provide. In the 21st century, Onoto has experienced a revival, appealing to both collectors of vintage pens and enthusiasts of luxury writing instruments. The brand continues to produce limited editions and bespoke pens, often commemorating significant historical and cultural events, further enhancing its cultural significance and appeal to connoisseurs of fine pens.